Pengalaman Berharga

Tak ada satu pun penghuni rumah yang menyangkal omongannya. Dia memang sudah bisa memasak makanan kesukaannya sejak masih di bangku TK. Goreng telur ceplok, dadar, nasi goreng, nugget, sosis sudah bisa. Pasti bingung, ya. Kok anak seusia itu sudah bisa masak. Aku memang tipe perempuan yang malas masak. Selain itu aku pun paling senang membeli makanan matang yang langsung dikonsumsi keluarga. Aku selalu berangkat pagi dan pulang sore. Anak dititip di penitipan. Kami tiba di rumah sore hari dalam kondisi sama-sama capai. Nah, kebiasaan burukku ini tidak disukai Abang. Dia memaksaku mengajarinya masak agar dia selalu makan kapan pun dia mau tanpa menunggu aku pulang kantor membawakannya makanan.

Seminggu mengajarinya SOP berada di dapur, menyalakan dan mematikan kompor gas dengan aman serta bagaimana caranya memasak barulah aku merasa tenang meninggalkannya di dapur. Tuntutan perutnya yang lumayan lebih banyak dari pada saudara-saudaranya mendorongnya untuk pandai memasak makanan yang enak. Hasilnya semua anggota rumah menyenangi masakannya. Semua sepakat mengatakan masakannya enak.

Kini kembali ke masalah inti. Abang akhirnya membuka sejarah pertamanya di depan kami semua. Bagaimana dia mengajak gadis itu ketemu di lapangan, diberikannya coklat dan es krim lalu dinyatakannya perasaannya dengan malu-malu. Abang begitu lancar bercerita diselingi tawa cekikikannya saat dia merasa malu kepada kami. Lalu bagaimana dia kemudian begitu berapi-api marah tatkala bercerita bagaimana dia ditolak.

“Sialan banget. Tahu, nggak? Es krimnya diambil akunya diejek. Dia bilang aku jelek. Bukan tipenya. Gimana nggak kesel.”

Kami tertawa melihatnya. Dalam hati aku kagum dia berani jujur membicarakan hal yang tidak nyaman baginya di depan kami semua. Dia tidak takut bahwa bisa jadi setelah dia bercerita saudara-saudaranya akan mengejeknya. Dia tak peduli.

“Yah, Lu nggak nyadar kalau Lu emang jelek. Coba sini lihat nih sudah hitam, belo, gendut, hidup lagi.” Adiknya meledek.

“Ah, segini aku lebih ganteng dari pada Lu. Sudah pendek, kurus, cengeng lagi.” Balasnya.

“Ye, meskipun begitu aku mah ganteng. Lihat nih, hidung aku sama dengan Papa. Tinggi. Wew.” Timpal adiknya.

“Nggak usah bawa hidung, ya.” Dia mulai tersinggung. Hidungnya bergerak-gerak. Mengembang dan kian membesar. Adiknya tertawa keras sekali.

“Sudah urus tuh hidung, baru urus cewek.” Kakaknya menasihati.

“Bodo!”

Kutaruh telunjukku di depan bibir. Seketika suasana hening. Aku tersenyum. Kutepuk-tepuk bahunya.

“Sabar. Cinta itu ya begitu. Ada kalanya bikin jantung deg degan karena hepi, ada kalanya juga bikin jantung deg degan karena takut. Nah, karena kamu masih sekolah urusan cinta dipending dulu. Fokus belajar, dulu. Kalau Abang sudah pintar, kerja, dan mandiri jangankan dia yang hari ini nolak kamu, artis Drakor juga pasti tergila-gila padamu.

“Ah, mereka mah beda niat” sergahnya. “Ma, kalau aku sudah pintar, kerja dan kaya aku bisa milih kan mau nikah sama siapa?” Tanyanya tiba-tiba.

Aku tercengang. Belum sempat kubuka mulutku papanya menjawab. “Iya. Makanya semangat. Belajar yang rajin biar pintar.” Dikedipkanya matanya.
Abang tersenyum. Diciumnya tangan papanya. Dipeluknya aku. Bau matahari masih menempel di tubuh dan puncak kepalanya. Aku bahagia. Dia masih anakku yang bau kencur. Baru main suka-sukaan. Pengalaman pertamanya ini mengajarinya banyak hal yang berguna. Menyerah bukanlah pilihan baginya. Dia harus optimis memandang dirinya sendiri. Dia harus yakin dia bisa. Kedua orang tua hanya berperan sebagai teman bicara. Selebihnya dialah yang memutuskan sendiri. Mana langkah yang mau diambil mana yang tidak. Yang pasti tetap jalin komunikasi dengan anak

(Bersambung)

(Karadenan, 6 November 2020; 10:09 wib)

#Day03NovAISEIWritingChallenge
#gareulis_gln_jawabarat
#smafour

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *