Aku dan Dia

Dalam sebuah kompetisi menang dan kalah adalah hal biasa. Tak ada yang istimewa. Bagi pemenang ini bukan sebuah akhir perjuangan. Masih ada kompetisi lanjutan yang menunggu untuk ditaklukkan. Bagi yang kalah pun sama. Meskipun kecewa tetapi tetap harus menyimpan semangat baja. Esok lusa harus kembali turun ke gelanggang menguji kemampuan. Apakah masih sama, ataukah sudah naik kemampuannya? Begitulah seharusnya yang dilakukan oleh keduanya.

Aku yang telah terjun langsung mendidik dan melatihnya pun sama. Meskipun sadar betul anak sulungku masih terlalu hijau rasanya tak kuasa melihatnya kalah. Sebelum menguatkan dirinya dengan segudang kalimat motivasi yang pernah kubaca aku sudah jauh-jauh hari menasihati diri sendiri. Inilah kompetisi. Ini pasti terjadi. Menang kalah adalah hal yang biasa terjadi.

Melihat wajahnya nan polos berlatih tertatih-tatih mempelajari apa yang baru dikenalnya membuatku insyaf. Dia bukan aku. Meskipun wajah kami mirip tetapi talenta berbeda.

Mimpi-mimpi yang dia miliki tak sama dengan mimpiku. Harapan yang dipupukkembangkannya jauh berbeda denganku. Motto hidupnya begitu jelas. Menuju tak terbatas dan melampauinya. Begitu teguh. Sementara aku, aku hanya percaya langit tak selamanya kelabu. Selalu ada pelangi setelah hujan turun. Itulah yang membuat kami berbeda.

Meskipun dia kalah dia menerimanya dengan lapang dada. Tak ada derai air mata. Tak ada rasa sakit tergambar di wajahnya.

Sementara aku yang sudah khawatir akan rasa tidak nyaman yang bakal menghampirinya justeru kalang kabut. Kubaca lagi kumpulan kata mutiara yang pernah kubaca saat masih di jalan Pemuda Bogor. Sekuat tenaga aku berusaha menghapal semuanya. Agar bila dia menangis aku bisa membujuknya dengan mengutip kata-kata mutiara itu.


(Dokumentasi pribadi)

Andai aku tahu betapa dewasa dirinya tak perlu kuhabiskan waktu bersama kumpulan kata-kata tersebut. Cukup nikmati segelas kopi hangat dan roti bakar saja. Lalu biarkan angin malam bercerita betapa dia telah cukup dewasa belajar mandiri di sana. Menikmati siraman matahari pagi sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang menganggap air mata adalah tanah airnya.

#13november2020
#08.00pm
#Day08NovAISEIWritingChallenge
#gareulis
#smafour
#labasa2
#kabumisastra

41 thoughts on “Aku dan Dia”

  1. I have been examinating out a few of your articles and i can state pretty nice stuff. I will surely bookmark your website. Sasha Jerome Means

  2. Spot on with this write-up, I truly think this website needs much more consideration. I all probably be again to read much more, thanks for that info. Darrelle Dino Frederica

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *