(Neneng Hendriyani)
Kata merdeka sejatinya adalah bebas; bebas melakukan yang disukai. Namun, apa jadinya bila bebas di sini ternyata tidak sebebas yang diinginkan? Tentu saja berbagai perasaan negatif muncul dalam berbagai variannya dalam memengaruhi kerja otak yang pada akhirnya membuat kita, guru dan peserta didik, bertanya kembali, sungguhkah merdeka?
Kemerdekaan adalah hak semua orang yang hidup di atas bumi. Ini adalah hak yang melekat dan tidak bisa diganggu gugat. Keberadaannya sama dengan beberapa hak istimewa lainnya yang dimiliki manusia. Yaitu, hak memeroleh pendidikan dan kehidupan yang layak.
Dalam mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak inilah manusia harus mampu meraih kemerdekaan. Tanpa kemerdekaan bagaimana mereka bisa belajar dan mengajar dengan bebas dan lepas sesuai dengan hati nurani.
Sebagai bagian dari sebuah organisasi besar yang bernama negara, guru dan peserta didik alias siswa memiliki tempat dan kedudukan yang persis sama di hadapan kemerdekaan. Keduanya memiliki hak untuk merdeka dalam melaksanakan segala kehendaknya dalam mencapai tujuan yang mengarah kepada perbaikan diri masing-masing.
Bagi guru, kemerdekaan yang dimaksud adalah kemerdekaan dalam bidang finansial. Bila guru sudah merdeka secara finansial maka ia dapat terjun ke masyarakat dengan sepenuh hati dan jiwa raga. Tanpa keraguan, kekhawatiran akan masa depan keluarga dan dirinya ia siap berjibaku dalam berbagai situasi dan kondisi demi mencerdaskan bangsa.
Bagi peserta didik alias siswa, kemerdekaan adalah bagian di mana mereka bisa bebas memilih untuk memelajari berbagai hal yang mereka sukai dan butuhkan. Jangan paksa mereka memelajari banyak hal yang sebenarnya jauh dari minat dan kebutuhannya. Ibarat seekor burung, haruskah mereka belajar berenang dan melompat? Haruskah mereka belajar beradaptasi akan suhu air alih-alih belajar mengenal perubahan cuaca dan musim?
Selain itu, kemerdekaan bagi peserta didik adalah kemerdekaan di mana mereka bebas belajar kapan pun, di mana pun mereka mau. Jangan batasi lingkungannya dengan menyuruh mereka belajar di dalam ruang tertutup, berbentuk kotak atau persegi panjang. Merdekakanlah mereka dengan membiarkan mereka belajar dari alam sekitarnya. Duduk di atas rumput, di tengah hamparan padi yang menguning, atau di ketinggian lereng gunung akan membuat jiwa mereka tumbuh bersama keberanian, kepercayaan diri, dan pengetahuan mereka yang pastinya berguna bagi kehidupan mereka di kemudian hari.
Teori-teori yang menumpuk di kertas-kertas tua di perpustakaan itu bukanlah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan bagi mereka. Mereka memerlukan interaksi antar sesama makhluk hidup agar mereka tumbuh seperti seharusnya. Tanpa interaksi yang hangat mereka sulit menjadi manusia seutuhnya. Rasa minder, gugup, mudah putus asa akan selalu menghantui perkembangan jiwanya yang terkungkung akibat interaksi sosial yang buruk.
Alam dengan segala kandungan misterinya adalah sekolah terbaik bagi mereka. Guru sebagai manusia dewasa adalah partner belajar yang paling tepat dalam mendampingi mereka menuju kedewasaan dan perbaikan diri. Ketiganya saling terkait satu sama lain. Ketiganya membutuhkan kemerdekaan dalam porsinya masing-masing.
Konsep belajar merdeka yang dicanangkan pemerintah sebenarnya masih jauh dari gambaran merdeka di atas. Namun demikian, setidaknya ini membawa banyak perubahan positif dalam pendidikan. Guru, sebagai ujung tombak, akhirnya memiliki kemerdekaan meskipun hanya sepersekian persen dari arti kemerdekaan yang sesungguhnya.
Tanpa perlu memikirkan banyak hal, guru dapat hadir di mana pun sesuai dengan jadwal yang diberikan sekolah masing-masing untuk menyapa dan mengajarkan materi-materi yang diampunya melalui layar berdasarkan kondisi khusus. Ia merdeka dalam menampilkan citra dirinya saat mengajar. Ia merdeka tanpa alas kaki yang sering membuat kakinya tidak nyaman saat di depan kelas. Ia merdeka mengajar dengan pakaian rumahan yang apa adanya. Bahkan ia merdeka dengan sapuan kosmetik yang tipis dan cenderung polos saat menyapa peserta didiknya. Karena pada hakikatnya ia menyadari bahwa semua penampilan lahiriah itu bukanlah hal yang paling penting yang perlu dilakukannya saat berhadapan dengan peserta didiknya. Menyiapkan materi dari berbagai sumber yang berseliweran di sekitarnya, merancang proses pemelajaran yang begitu singkat dengan tetap mempertimbangkan bobot materi pelajaran yang perlu dikuasai peserta didik adalah fokus utamanya sebelum mengaktifkan kamera dan tampil prima di depan layar peserta didiknya. Mereka bebas berkolaborasi dengan rekan sejawat untuk pelaksanaan belajar mengajar yang lebih baik dan bermutu.
Begitu pun peserta didiknya merdeka menggunakan sarung, celana pendek, atau pakaian lainnya dengan atasan berupa seragam sekolah saat belajar bersama melalui layar komputer atau gawai. Tanpa perlu memikirkan alas kaki, dan sebagainya mereka asyik bersenda gurau bersama guru dan teman-temannya guna merilekskan pikirannya sejenak sebelum masuk ke tahap inti pemelajaran.
Mereka “sesekali” merdeka menyeruput segelas teh atau susu hangat kala mendengarkan presentasi teman-temannya. Sebuah kegiatan yang tidak mungkin mereka lakukan bila mereka belajar di kelas. Mereka merdeka dalam menentukan media apa yang akan digunakannya dalam menyimpan semua materi yang dipelajarinya hari itu. Tak ada lagi paksaan harus menulis semua materi tersebut ke dalam buku. Mereka bisa menangkap layar, menyalin tempel, bahkan mengunduhnya langsung dan menyimpannya di folder-folder komputernya dengan cepat. Ini sungguh sebuah kemudahan yang patut disyukuri. Sangat efektif dan efisien.
Meskipun mereka tetap diberikan tugas baik lisan maupun tulisan yang semuanya harus dikumpulkan secara daring (online) selama Pembelajaran Jarak Jauh ini mereka tetap merdeka dalam menentukan waktu pengerjaannya. Guru hanya perlu menetapkan tenggat waktu pengumpulannya saja. Sisanya peserta didiklah yang memutuskan apakah akan mengerjakan sebelum tenggat waktu tersebut atau sesudahnya. Dengan begitu mereka belajar bertanggung jawab atas pilihan dan keputusannya sendiri. Mereka berlatih untuk siap menerima berbagai resiko dari keputusannya tersebut. Ini adalah hikmah dari kemerdekaan belajar bagi peserta didik.
Ketika penilaian tiba, guru juga memiliki kemerdekaan dalam melaksanakannya. Ia merdeka dalam memilih bentuk evaluasinya. Merdeka memilih platform yang akan digunakannya. Dan, merdeka dalam mengolah hasil evaluasinya tanpa perlu dibebani dengan hanya satu pilihan aplikasi saja.
Dari uraian di atas kita dapat tarik kesimpulan bahwa merdeka belajar, merdeka mengajar bagi guru dan siswa dewasa ini kiranya membuat guru dan siswa merdeka dalam arti yang sebenarnya. Kedua pihak merdeka dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing demi tujuan yang sama-sama mulia, yaitu mengubah seseorang menjadi lebih baik lagi baik akal, pikiran, fisik, dan psikisnya. Kemerdekaan guru baik dalam bidang finansial, maupun bidang lainnya menjadi kunci keberhasilan guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Kemerdekaan bagi peserta didik dalam memilih pelajaran yang disukai dan dibutuhkan untuk masa depannya dapat membuat mereka lebih termotivasi untuk belajar dan membuat mereka lebih mengembangkan potensi dasar yang dimilikinya sejak lahir.
Semoga merdeka belajar merdeka mengajar ini dapat memberikan inspirasi berharga bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, guru dan peserta didik, untuk lebih mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan mempersiapkan diri dalam menghadapi bonus demografi 2022 mendatang.*)
(Tulisan ini diambil dari tulisanku di buku antologi Merdeka Belajar, Merdeka Mengajar. Penulis: Neneng Hendriyani, Iso Suwarso, IingFelicia, Sri Mukmini dkk. ISBN : 978-623-6581-27-8. hal 1-6.)