GURUKU ARJUNA

Di dalam buku Jangan Pernah Berhenti Mengajar ini banyak sekali ditemukan kisah mengharu biru tentang berbagai latar belakang penulisnya memilih profesi sebagai seorang guru. Sebagai salah satu penulis di dalam buku antologi ini aku pun tak ketinggalan menulis sebuah kisah saat masih duduk di bangku SMA. Kisah ini ditulis dengan judul “GURUKU ARJUNA” (Hal 44-50).

Menjadi siswa kelas 2 SMA saat itu aku merasakan sendiri hebohnya ikut serta dalam kegiatan yang tidak patut dipuji, yaitu meninggalkan kbm bersama-sama dengan teman sekelas. Ya, bolos sekelas tepatnya. Aku sadar sepenuhnya bahwa tindakan tersebut tidak baik. Namun, demi membela pendapat dan hak kami sebagai murid terpaksalah aku ikut serta.

Semua berawal dari ketidakbecusan guru pengganti yang bertugas di seluruh kelas milik guru idola kami. Pola ajarnya yang sangat jauh berbeda, menimbulkan ketidaksukaan seluruh siswa dan banjirnya protes ke meja Kepala Sekolah. Sayang, Ibu Kepala Sekolah saat itu enggan mendengarkan keluh kesah kami. Jadilah bolos bersama itu kami pilih sebagai bentuk demo agar sekolah mengerti apa yang sebenarnya terjadi di kelas-kelas kami.

Singkat cerita, guru idola kami yang sedang berjuang melawan Tuberculosisnya itu terpaksa datang menemui perwakilan kelas yang demo.  Dengan wajah pucat dan seulas senyum manisnya ia berpetuah panjang lebar. Intinya, perbaikilah dirimu dahulu sebelum engkau memperbaiki orang lain. So, petuah itulah yang membawaku ke jalan yang kini ku tapaki. Memperbaiki diriku sendiri sebelum memperbaiki orang lain (siswa).

(Bogor, 02 September 2018)

https://bit.y/Bumori53

Tema: Guru keren Guru Hebat
Guruku Arjuna
Oleh: Neneng Hendriyani, M.Pd
Guru SMK Negeri 1 Cibinong

Dia bukanlah seorang arjuna meskipun ia adalah lelaki yang sempurna. Halus budi bahasanya senantiasa membuat siapapun yang berada di dekatnya merasa tenang dan senang. Tinggi badannya semampai. Kulitnya sawo matang. Matanya sipit dengan hidung yang tak terlalu mancung. Kumis tipis menghias wajahnya yang jarang tersenyum. Namun tetap menawan dipandang. Langkahnya tegap meskipun ia bukan seorang pramugara atau foto model kelas dunia. Dia lah guruku. Guru terhebat sepanjang hidupku.
Kawan, tahukah kau betapa aku mengaguminya. Bukan karena gagah dan tampannya dia. Tapi karena cara mengajarnya yang sangat berbeda dengan kebanyakan guru yang pernah mengajariku di bangku sekolah dulu. Ya, gayanya sangat berbeda. Kebetulan guruku di smp dulu seorang perempuan. Penampilannya rapi, cantik dan sangat menarik. Gaya busananya mirip teller bank di kotaku. Tak ada yang mencemoohkan penampilannya. Ia selalu tampil trendy dan berkelas. Namun sayang di balik penampilan tersebut semua merasa tercekam. Bila ibu guruku dulu datang ke kelasku serempak semua siswa akan diam mematung. Semua menahan napasnya seolah melihat Dewi Hera dalam mitologi Yunani datang menjelma. Tak ada yang berani bercakap-cakap. Tak ada yang berani main mata layaknya anak remaja sedang jatuh cinta. Semua menahan diri. Semuanya takut berbuat salah. Takut bilah penggaris, penghapus atau sisa kapur mencium kening masing-masing. Sehingga meninggalkan tanda kebiru-biruan yang lama hilang. Semua tetap diam di kursi masing-masing. Tak ada yang berani angkat tangan, bertanya apalagi bercanda. Bahkan bila tak paham materi pelajaranpun semua memilih diam. Dan membiarkan dentang lonceng sekolah berbunyi tanpa mengindahkan semua ragu di hati. Semua siswa sangat takut saat itu. Bagi kami, cukup masuk kelas, duduk yang rapi, dan catat hingga habis semua penjelasan Ibu Guru tadi adalah syarat utama untuk naik kelas. Persoalan bisa atau tidak bercakap dalam bahasa Inggris sudah bukan persoalan lagi. Yang penting bisa naik kelas dan lulus tanpa sedikitpun berbuat cela di mata guru tadi.
Selepas smp itu aku melanjutkan studi ke sma. Di sanalah ku bertemu dengan guru Arjuna tadi. Tiada seorangpun yang tak mengenalnya. Rupanya ia guru idola di sana. Semua siswa mengelu-elukan kehadirannya di setiap acara di sekolah. Semua guru pun sama. Mereka begitu hangat menyapanya. Seolah ia adalah sosok yang paling dinanti.
Aku masih ingat bagaimana ia datang pertama kali ke kelasku saat aku kelas dua. Siang itu surya bersinar sangat terik. Tak biasanya udara begitu panas terasa padahal baru kemarin hujan turun sore hari. Kemeja putihnya tak lagi cemerlang. Tak terlihat bekas setrikaan di sana sini. Begitu pula celana pantalon yang digunakannya. Sepertinya ia tak sempat merapikan pakaiannya. Maklumlah ia mengajar full dari pagi sampai sore, dari Senin hingga Sabtu. Di rumah pun ia tak punya istri yang bisa membantunya menyiapkan seragamnya. Ia sudah lama menduda. Dengan mengepit sebuah LKS Bahasa Inggris dan sebuah Buku Nilai ia masuk dan duduk di hadapanku. Mejaku memang di depan. Dekat sekali dengan meja guru. Maklum kelasku sangat padat. Ada 40 siswa di kelasku dan semuanya diawali dengan huruf M dan N. Jadi ada banyak nama Muhammad dan Neneng di kelas. Meskipun demikian semua guru tidak kesulitan sama sekali dengan fenomena unik ini. Mereka hapal satu persatu muridnya. Begitu pula Bapak guruku yang satu ini. Dia sangat hapal kemampuan semua siswanya.
Siang itu ia mengajarkan kelasku tentang Livestock. Sebuah materi reading text yang diikuti dengan sejumlah pertanyaan lisan. Ugh, banyak kawan yang merasa ga senang dengan materi ini. Bukan kenapa-kenapa sih. Mereka sebenarnya marah karena malu, ga bisa baca text dalam bahasa Inggris. pelafalan mereka banyak yang salah. Dan tiap kali salah satu siswa membaca textnya salah semua tertawa. Seru banget bisa tertawa lepas meski yang ditertawakan belum tentu ikhlas hahahahaa. Bapak guru hanya tersenyum simpul setiap kali siswanya salah mengucapkan satu dua kata dalam paragraf tersebut. Dengan simpatik ditepuknya bahu sang siswa dan diajarinya pengucapan yang benar. Disuruhnya siswa tadi mengulanginya lagi. Dan bila ia salah seisi kelas pasti menertawakannya lebih keras. Sungguh sangat memalukan baginya. Lagi, Bapak Guru akan membimbingnya hingga ia bisa mengucapkan dengan benar. Kami sekelas puas saat mendengar ia akhirnya bisa mengucapkan dengan baik.
Setelah semua siswa dirasanya dapat membaca dengan baik text tersebut ia melanjutkan dengan memberi beberapa pertanyaan terkait isi teks tersebut. Ditunjuknya siswa secara bergantian untuk menjawab semua pertanyaannya. Bila kemarin aku tak kebagian pertanyaan maka pertemuan ini giliran aku yang ditanya. Aku ingat bila jawabanku kurang tepat ia akan tersenyum. Ia tak pernah marah. Ia akan mengulangi lagi pertanyaannya dengan sedikit mengubah beberapa kata yang dianggap sulit tanpa mengubah esensi soal. Saat itu barulah aku bisa menjawabnya dengan gamblang. Sungguh guru yang sangat cerdas. Ia dapat melihat kekurangan dan kelebihan siswanya dengan baik.
Aku paling suka saat ia memberikan ulangan harian. Semua soal yang diberikan tidak pernah keluar jalur alias sesuai dengan yang dipelajari. Ia ga pernah mendewakan salah satu jenis ulangan. Ia selalu melakukan semuanya ya lisan dan tulisan. Saat oral test (ulangan lisan) biasanya kami dipanggil satu persatu. Duduk di hadapannya. Lalu ia menunjukkan satu paragraf yang harus dibaca dan dianalisis. Setelah itu menjawab soal lisan yang diberikan. Sungguh bagi mereka yang tidak belajar semalam sebelumnya dijamin deh ga akan masuk kelas pas oral test. Bapak Guru paling tidak suka jika siswanya ga siap buat ditest. Ia akan diam dan senyumnya hilang seharian. Bila saatnya written test alias ulangan tertulis biasanya kami dibagi dua rombongan berbeda. Rombongan pertama akan ulangan pertama kali. Rombongan kedua menanti di luar dengan harap-harap cemas. Sebab soalnya biasanya beda jadi ga akan ada bocoran satu pun. Jadi ulangannya selalu surprise. Asyik kan.. ini sangat menantang. Jadi jelas banget yang nilainya bagus adalah mereka yang memang rajin belajar bukan yang rajin ngebet catetan. Ha ha haa.
Meskipun gayanya seperti itu, selalu ngadain ulangan dadakan ternyata beliau sangat disayang. Buktinya ketika beliau digantikan oleh guru baru semua berontak. Yah, aku yang tidak pernah mabal alias kabur ninggalin jam pelajaran pun akhirnya ikut-ikutan cabut di jam pelajaran bahasa Inggris.
Hari itu Kamis, seorang guru baru datang mengajar bahasa Inggris di kelas kami. Perawakannya tinggi langsing. Kulitnya putih mulus. Cantik sekali meski tak berkerudung seperti umumnya guru wanita di sekolah kami. Ia memperkenalkan diri sebagai lulusan salah satu universitas negeri di Malang. Setelah basa basi perkenalan yang monoton itu ia langsung mengajar. Tahukah kau kawan bagaimana gayanya saat itu. Alamak dua papan tulis habis diisinya dengan kapur. Glek. Ini tak pernah terjadi sebelumnya. Bapak Guru kami pelit kapur. Ia hanya mencatat apa yang memang kami tak bisa. Selebihnya ia hanya pegang buku LKS. Menerangkan materi. Berjalan mondar mandir di kelas untuk memeriksa pekerjaan kami. Sementara guru baru ini menulis selama dua jam pelajaran tanpa sekali pun menoleh ke belakang. Kami bagai dianggap tak ada saat itu. Setelah selesai menulis dengan cueknya ia menyuruh kami sekelas menyalinnya. Wow, semuanya materi grammar. Ampun deh, rumusnya banyak banget. Tak ada satu pun yang kami pahami. Semuanya ditulisnya dalam bahasa Inggris. Kami hanya diam saling memandang satu sama lain. Lalu dengan malas mulailah kami menulis. Untung bel segera berbunyi. Lepaslah kami dari pelajaran yang sangat tidak menyenangkan itu.
Minggu depannya saat jam pelajaran kimia usai. Kulihat sebagian besar anak laki di kelasku keluar. Kupikir ah paling juga mau ke belakang. Tapi agak aneh juga sih kok mereka ga balik-balik ya. Tak lama beberapa anak perempuan juga keluar. Mereka ijin ke guru baru itu untuk ke koperasi beli pulpen. Lagi-lagi mereka pun ga balik lagi. Aku mulai curiga. Apalagi saat ku sadari cuma aku bertiga dengan kawan sebangku saja yang tersisa siang itu di kelas. Kemanakah mereka semua sebenarnya, pikirku. Sementara guru baruku sepertinya tidak peduli dengan ketidakhadiran siswanya tadi. Ia masih asyik dengan menulis di depan sana. Hingga akhirnya seorang kawanku diam-diam meninggalkan kelas. Ia baru sadar hanya tinggal aku dan kawan sebangku saja yang ada saat ia membalikkan tubuhnya menghadap kami. Alamak, aku hanya menepuk jidatku saat ia menatap padaku. Ada rasa tak enak saat ia menanyakan kemana 38 siswa lainnya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Aku sungguh tak tahu apa yang harus kujawab. Mereka pergi begitu saja. Mana ku tahu aku juga kan duduk di bangku terdepan. Ah, bu guru yang malang.
Minggu berikutnya saat bel berbunyi dan guru Kimia keluar kelas aku pun ikut lari. Aku enggan ditinggal sendiri. Aku takut ditanya lagi kemana kawanku semua pergi. Aku yang biasanya sangat rajin belajar kini ikut mabal. Aku jadi anak nakal. Ada rasa bersalah muncul di hatiku sesaat. Namun rasa itu tiba-tiba menghilang saat ku dengar kabar tentang Bapak Guru yang sudah sebulan tak mengajar. Awalnya kami sekelas berpikir beliau resign. Maklum kami semua tahu betapa kecilnya gaji beliau sebagai guru. Itulah salah satu alasan mengapa dulu istrinya menggugat cerai. Besar pasak daripada tiang.
Ada bulir bening membasahi kedua mata kami sore itu. Saat Ibu Kepala Sekolah masuk ke kelas kami. Rupanya guru baru itu mengadukan kami. Ia tak terima mendapati kelas kosong melompong saat jam pelajarannya. Kami cuma diam menunduk. Sekelas kami menangis. Bukan karena kami menyadari kesalahan kami yang cabut sekelas. Sekali-kali bukan itu alasannya. Tetapi karena Bapak Guru kami. Ia pergi tanpa pamit bukan karena resign rupanya. Ia sakit TBC stadium 4. Saat itu ia di rawat di Cisarua. Itulah sebabnya Bu Guru baru masuk menggantikannya mengajar. Ah, Bapak. Andai kami tahu alasan Bapak pergi. Andai kami tahu derita Bapak, mungkin kami tak akan cabut sekelas. Begitu sesal kami saat itu. Ibu Kepala Sekolah menjelaskan semuanya dengan hati-hati. Ia takut kami tak terima dengan penggantian guru tersebut. Ia ingin kbm tetap berjalan seperti biasa. Ia pun menyadari kesalahannya tidak memberitahukannya sejak awal. Kami hanya diam saja.
Kami terlanjur tak peduli dengan guru baru kami. Kami rindu Bapak Guru kami. Kami hanya ingin ia datang sekali lagi. Sungguh minimal sekali saja datang untuk menenangkan hati kami. Kami bagai anak ayam kehilangan induknya. Ibu Kepala sepertinya memahami kegundahan kami sekelas. Ia berjanji akan mendatangkan beliau sekali saja ke sekolah. Ia harap setelah itu semua akan belajar giat lagi. Tak ada lagi aksi cabut sekelas. Tak ada lagi protes yang dialamatkan ke kantornya. Kami setuju.
Entah angin dari mana yang pasti hari itu semua terlihat gembira. Siswa kelas 3 berhamburan keluar. Seperti ada yang mereka tuju. Derap langkah mereka sangat mengganggu ketenangan kelasku. Meskipun aku baru kelas 2 SMA aku banyak kenal mereka. Kulihat Kak Evie berlari paling depan sambil sesekali menyusut air matanya. Ada apa gerangan. Tak ingin ketinggalan aku langsung ijin meninggalkan kelas. Aku ikut gelombang besar itu. Semua menuju kantor kepala sekolah yang terletak di depan gerbang masuk sekolahku. Wow, aku terperanjat. Beberapa kali aku mengucek mataku. Sungguhkah ini nyata, pikirku. Aku melihatnya. Ya, aku melihatnya dengan jelas. Lelaki muda yang duduk di depan Ibu Kepala itu sepertinya aku kenal. Meskipun ia duduk membelakangi kaca, tapi aku yakin aku mengenalnya dengan baik. Mungkinkah itu dia, sosok yang lama ku rindukan kehadirannya di kelas. Tak lama, guru piket mengusir kami. Rombongan demi rombongan pergi meninggalkan area itu. Tinggallah aku, Kak Evie, Kak Robi dan Santi. Kami memilih diam berdiri di sana. Sedikitpun tak menghiraukan gertakan galak guru piket yang mengancam akan membawa kami ke BP/BK karena mengacuhkan perintahnya. Kami semua penasaran dengan sosok lelaki itu. Kami memilih menanti dengan sabar daun pintu itu terbuka. Berharap bisa menatapnya dengan jelas meskipun hanya sekali saja.
Tak lama Ibu Kepala membuka pintunya. Ia mempersilaka kami semua masuk. Ditinggalkannya kami berempat dengan lelaki misterius itu. Tangis kami meledak bersamaan saat ia membalikkan tubuhnya. Senyum manisnya tersungging di sudut bibirnya. Wajah yang sangat kurindukan. Kami berebut mencium tangannya. Masih dalam suasana haru kami bergantian menanyakan kabar masing-masing. Kak Evie adalah yang paling keras suara tangisnya saat kami melihat bekas infusan dilengannya. Wajahnya yang sayu, tubuhnya yang kurus cukuplah memberi kami banyak informasi akan penderitaan yang sedang ia alami. Hanya tatapan matanya yang hangat dan senyum tipisnya yang membuat kami yakin bahwa ia sedang berjuang sekuat tenaga untuk kembali sehat. Sungguh ini bukan pertemuan yang aku harapkan sebetulnya. Berada di depan orang sakit adalah hal yang tidak membahagiakan sama sekali. Berlima kami tertawa saat salah satu dari kami bercerita betapa nakalnya kami saat ditinggalkannya. Kami cabut sekelas. Bukan hanya sekelas tapi hampir seluruh kelas yang ia pegang. Ini gila. Sungguh gila. Kami semua protes. Kami ingin beliau kembali mengajar lagi. Ia hanya tersenyum. Seperti biasa. Dengan gayanya yang kalem ia mengajak kami bicara dari hati ke hati. Sungguh ia pandai memanusiakan manusia. Ia mau mendengar curhatan siswanya. Di akhir pertemuan sore itu ia mengajakku bicara setelah semua siswa meninggalkan kami.
“Neng, mengapa kamu ikut-ikutan cabut?”
Aku diam menunduk. Aku malu sekali. Ini kali pertama aku ditegur guru. Aku tahu ini salah. Sejak smp aku adalah siswa yang rajin. Aku tak pernah dipanggil BP/BK. Tapi, ini kali aku kena ditegur guru. Parahnya lagi oleh guru yang aku idolakan. Lama aku diam. Lidahku terasa kelu. Aku bingung harus mulai dari mana. Kutatap ia dalam-dalam. Seolah aku tahu inilah pertemuan kami yang terakhir.
Dengan menahan air mata aku beranikan juga mengangkat kepalaku dan menjawabnya.
“Aku tak suka guru itu”. Jawabku singkat.
“Mengapa?”
Aku menggeleng. Aku takut ia marah.
“Selalu ada jawaban untuk setiap pertanyaan, Neng”.
“Jawablah.”
Dengan menarik napas, kuceritakan semua yang dilakukan guru baru itu. Dari gaya berpakaiannya yang berbeda dari yang lain hingga cara mengajarnya yang sangat ga gue banget.
Tahukah kau kawan apa tanggapannya sore itu?
Oh my God. Dia hanya menepuk pundakku.
“Setiap guru punya caranya masing-masing dalam menyampaikan materi, Neng. Mungkin ia menganggap itulah cara yang terbaik yang ia bisa dalam menyampaikan materi bahasa Inggris.”
“Nggak. nggak bisa gitu, Pak. Seharusnya ia tidak menulis terus sepanjang jam pelajaran. Memangnya kami apaan? Kami kan ada di sana, Pak. Kami kan orang bukan batu apalagi monyet sehingga ia bisa cuek begitu. Baru noleh kalau sudah beres nulisnya. Nerangin apanya yang diterangin. Dia cuma nulis, Pak. Kami ga paham. Saya ga paham yang ia ajarkan.” bantahku berapi-api.
“Maksudmu… dia ga bisa ngajar, begitu?” tanyanya.
“Mmm.. bukan gitu, Pak. Hanya saja dia ga bisa memahami anak kelasan. Anak kelasan kan ga suka nulis. Maunya langsung praktik. Kayak biasa dengan Bapak. Kita belajar baca dengan lantang jadi ketauan bisa ngomong nggaknya. Terus belajar ngarang. Ya walau cuma dua paragraf tapi jelas. Mau nulis apa, apa procedural apa narrative gitu. Yang pasti gurunya ngajarin sedikit aja. Kalaupun mau nulis ya nulis aja. Tapi jangan banyak-banyak. Ngapain ngajarin yang ga bakalan kami lirik dan ga guna juga. Kan UN ga bakal ditanya begituan. Ya kan, Pak”. jawabku nyerocos macam mercon baru dibakar.
Bapak Guru Arjunaku hanya diam sesaat. Lalu tiba-tiba ia berdiri. Aku kaget bukan kepalang. Takut luar biasa. Jangan-jangan aku sudah kelewatan tadi. Ya Tuhan, lindungi aku. Desahku lirih dalam hati.
“Neng, aku bukan lulusan universitas negeri ternama. Aku cuma lulusan swasta. Tapi kau telah mengatakan itu semua. Jika kau bisa menyalahkan dia, dia yang lulusan keguruan dari Universitas Negeri. Dia yang jauh lebih tua darimu. Dia yang lebih tinggi pendidikannya saat ini denganmu. Apa kau bisa mencontohkan bagaimana seharusnya menjadi guru yang baik, lebih baik dari dia yang sudah kau kritisi?” tantangnya.
Aku terkesiap mendengarnya. Darah mudaku bergolak. Dadaku bergemuruh. Ada amarah di situ. Aku bisa merasakannya. Ini kali pertama jawabanku dibantai demikian rupa. Ia yang kuhormati dengan sepenuh jiwa mengapa meragukan jawabanku. Pikirku saat itu. Tanpa pikir panjang aku pun berdiri. Menyambut tantangannya dengan penuh keberanian. Aku lupa aku hanya seorang siswa saat itu.
“Aku tahu, aku baru sma. Baru kelas dua, Pak. Tapi aku tidak bodoh dan aku menolak diibodoh-bodohi. Lihat saja nanti, Pak. Aku akan datang pada Bapak saat aku berhasil mengalahkannya dalam berbagai bidang. Bapak bilang ia lulusan universitas negeri. Apa Bapak pikir hanya mereka yang dari negeri yang pandai? Apa Bapak pikir aku ini bodoh sehingga aku masuk sma swasta ini? Orang tuaku miskin, Pak. Maka itu aku disekolahkan di sini. Tapi tengok nilai-nilaiku. Aku adalah yang terbaik di setiap semester di sekolah ini. Bapak Kepala Sekolah terdahulu sampai memberiku hadiah baju seragam karena nilaiku tertinggi. Bapak, akan ku buktikan sekalipun aku nanti tidak masuk negeri aku akan lulus menjadi yang terbaik. Aku akan menjadi guru. Aku akan menjadi guru yang terbaik. Seperti Bapak. Mengajar dari hati hingga sampai ke dalam hati. Doakan aku, Pak. Akan kuajarkan siswaku bagaimana menggunakan bahasa Inggris dengan baik, mudah dan menyenangkan. Seperti engkau yang selalu hadir di kelas dan memberi pelajaran dengan menyenangkan. Ini janjiku padamu, Pak”. jawabku lantang.
“Aku senang kau mau membuktikannya, Neng. Semoga Allah mengabulkannya. Ingatlah selalu pesanku ini: jangan menyalahkan siapapun jika engkau tak tahu bagaimana seharusnya. Jadilah guru yang terbaik dimanapun kau berada.” pesannya.
Setelah mencium tangannya aku pamit kembali ke kelas. Sepanjang jalan ku susut air mata yang kian deras mengalir. Sore itu aku pulang sekolah hujan-hujanan. Didepanku lelaki muda itu berjalan di bawah payung besar. Aku tak ingin mengejarnya. Aku memilih berjalan di belakangnya. Diam-diam aku menyadarinya ia tak akan pernah kembali lagi ke kelas kami. Jalannya begitu gontai senja itu. Beberapa hari kemudian seluruh siswa berduka. Di tengah lapangan kami semua berdoa semoga ia diterima iman islamnya. Selamat jalan, guruku sayang. Semoga Allah menempatkanmu di surganya bersama para ulama.
Lima tahun kemudian pada tanggal 13 Oktober 2003 aku diwisuda sebagai lulusan terbaik dengan peringkat cum laude. Hari itu lirih aku menyebut namanya saat Bapak Wakil Presiden RI Hamzah Haz memberiku piagam penghargaan sebagai lulusan terbaik 2003 dari FKIP jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Janji pertamaku tunai sudah. 1 Desember 2003 aku resmi menjadi guru di sebuah SMK negeri di kota kelahiranku. Saat itu aku adalah cpns termuda se kabupaten Bogor. Setelah empat belas tahun mengajar, aku bertemu banyak alumni di berbagai sekolah yang kebetulan ikut ku dampingi saat implementasi kurikulum tiga belas. Salah satunya menjadi guru Bahasa Inggris. Saat kutanya alasan mengapa ia menjadi guru Bahasa Inggris, ia menjawab karena ia suka dengan caraku mengajar; yakni mengajar dari hati hingga sampai ke hati. Inilah aku sekarang, guru Bahasa Inggris yang telah menepati janjinya kepada Bapak Guru Arjunaku delapan belas tahun lalu.
Ku tuliskan kisah ini untuk mengenang Guru terbaikku, (alm) Jaya Rukmana di SMA Swasta Al Nur Cibinong. Terima kasih untuk semua ilmu dan bimbingannya. Semoga Allah menerima semua amal ibadah Bapak. Selamat jalan, Pak.

BIODATA PENULIS
Neneng Hendriyani atau lebih dikenal dengan Neng Nunu adalah guru Bahasa Inggris di SMK Negeri 1 Cibinong sejak 2003 hingga saat ini. Pendidikan formalnya ditempuh di SD Negeri Cikaret 2, SMP Negeri 2 Cibinong, SMA Swasta Al Nur Cibinong program studi IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris UIKA Bogor, dan Magister Pendidikan Bahasa Inggris UHAMKA Jakarta.

Buku yang telah ditulisnya adalah Alih Kode & Campur Kode: Strategi Siswa Dalam Berbicara Bahasa Inggris (2017), Bogor: Peninggalan Sejarah Dari Masa Ke Masa (2017), Tips Mudah Menulis Proposal & Laporan Penelitian Tindakan Kelas (2017), antologi puisi Senandung Rindu: Bogorku, Bogormu, Bogor Kita (Memaknai Bogor Melalui Puisi) (2017).
Untuk korespondensi sila hubungi nenghendri53@gmail.com.

Ini