BAHASA SUNDA DI KABUPATEN BOGOR, KONDISIMU KINI

Ini adalah tulisan esai keduaku yang diterbitkan di Mastra Kandaga, sebuah majalah milik Kantor Bahasa Banten pada edisi XIII – April 2020.

Berikut adalah isi tulisan tersebut.

Bahasa Sunda di Kabupaten Bogor, Kondisimu Kini
Oleh Neneng Hendriyani

Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di salah satu kabupaten yang cukup heterogen di Provinsi
Jawa Barat, Kabupaten Bogor, saya kerap kali mengalami kesulitan dalam berbahasa Sunda. Terutama apabila harus
berkomunikasi dengan temanteman dan atasan yang terbiasa menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulan dan urusan
kepegawaian. Padahal kedua orang tua saya pun lahir di Jawa Barat.

Semua orang Sunda paham benar bahwa sundanya orang Bogor tidak sehalus sundanya orang-orang yang tinggal di wilayah Priangan, Jawa Barat. Bogor terkenal heuras genggerong. Bogor memang tidak termasuk wilayah Priangan. Hanya kabupaten Sukabumi, Cianjur, Bandung, Bandung Barat, Majalengka, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Pangandaran, dan Ciamis yang masuk ke dalam wilayah Priangan. Itulah sebabnya masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut bisa dan biasa menggunakan bahasa Sunda yang halus dalam aktivitas sehari-harinya baik di kantor pemerintahan, sekolah, pabrik,bahkan pasar. Sehingga seringkali saya merasa tidak percaya diri bila bertemu dengan teman-teman yang
berasal dari wilayah tersebut.

Takut dibilang tidak sopan, tidak terpelajar dan tidak tahu adat saat menggunakan bahasa Sunda yang ala kadarnya
mendorong saya dan orangorang yang senasib dengan saya memilih jalan aman yaitu menggunakan bahasa Indonesia
daripada bahasa Sunda dalam percakapan.

Hal ini terjadi lantaran bahasa sunda bukanlah bahasa utama yang digunakan di wilayah Bogor dan sekitarnya.
Di sini bahasa utama yang digunakan oleh sebagian besar masyarakatnya adalah bahasa Indonesia dengan dialek Betawi.
Ini terjadi lantaran Bogor berdekatan dengan Jakarta dimana para penduduk asli Jakarta merupakan suku Betawi.

Bahkan banyak juga dijumpai oleh masyarakat kabupaten Bogor lebih cakap berbahasa Betawi daripada Sunda dalam
pergaulan sehari-harinya. Hanya sedikit sekali yang mampu menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari
baik terhadap orang tua, teman, atasan,bawahan dan masyarakat umum. Mereka yang tinggal di daerah Bogor Barat yang
berdekatan dengan Tangerang dan Banten lebih banyak menggunakan bahasa sunda daripada masyarakat yang tinggal di wilayah Bogor Timur seperti Cibinong, Cileungsi, Jonggol dan sekitarnya. Mereka sudah jarang menggunakan bahasa Sunda Priangan di dalam kesehariannya itu. Sehingga, tidaklah mengherankan anakanak yang lahir di wilayah
Bogor Timur, terutama era 90an hingga sekarang rerata tidak mampu menggunakan bahasa Sunda dengan lancar dan benar
sesuai dengan tata bahasa (struktur) bahasa Sunda dalam pergaulan hidup sehari-harinya.

Kebijakan pemerintah provinsi Jawa Barat yang menginstruksikan bahasa Sunda sebagai bahasa daerah masuk ke dalam kurikulum pembelajaran di SD sebagai muatan lokal membuat anak-anak yang sekolah mulai tahun 1994 belajar bahasa Sunda di kelas-kelas.

Meskipun sudah dijadikan mulok (muatan lokal) selama dua puluh enam tahun, perkembangan bahasa Sunda di wilayah Kota/Kabupaten Bogor belumlah menunjukkan hasil hasil yang menggembirakan. Ini terbukti dari masih banyaknya orang yang canggung berbahasa Sunda saat harus menggunakan bahasa tersebut di forum-forum resmi yang biasa digelar baik oleh pemerintah daerah maupun komunitas pecinta budaya Sunda.

Selain rendahnya dalam kemampuan berpidato dan berkomunikasi dalam bahasa Sunda, masyarakat Jawa Barat pada umumnya dan Bogor khususnya pun ditengarai masih belum cakap sekali dalam mengapresiasi berbagai bentuk karya sastra sunda. Karya sastra yang dimaksud adalah puisi dan prosa berbahasa sunda. Yang termasuk ke dalam kelompok puisi sunda adalah pupuh, kakawihan, sisindiran (rarakitan, paparikan dan wawangsalan), pantun, syair, guguritan, pupujian, wawacan dan mantra.

Hanya sedikit sekali yang paham benar bahwa pupuh masih terbagi lagi ke dalam beberapa jenis, seperti pada
pupuh asmarandana dan kinanti, sisanya menggelengkan kepalanya sebagai tanda tidak tahu. Mayoritas penduduk pun
pernah mendengar tentang ajian, jampe, asihan dan jangjawokan. Tapi hanya sedikit yang paham bahwa itu semua adalah bentuk puisi puisi berbahasa Sunda.

Sementara yang termasuk ke dalam prosa Sunda di antaranya adalah dongeng, legenda dan mitologi. Legenda Gunung
Tangkuban Parahu yang kini dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia dengan judul Legenda Tangkuban Perahu ini adalah contoh legenda yang paling banyak diketahui anak-anak yang tinggal di provinsi ini. Namun sayang hanya sedikit sekali anak-anak yang mampu membaca legenda tersebut dalam bentuk aslinya, yaitu bahasa Sunda. Pupuh atau pepeuh adalah bentuk puisi sunda yang memiliki aturan tertentu dalam jumlah suku kata dan rima pada setiap barisnya. Masing-masing jenis pupuh memiliki sifat tersendiri yang khas dan mengandung tema cerita berbeda. Ada 17 jenis pupuh Sunda yang telah kembali diperkenalkan ke masyarakat melalui pendidikan di sekolah. Yaitu asmarandana, balakbak, dangdanggula, durma, gambuh, gurisa, juridemung, kinanti, lambang, sinom, magatru,maskumambang, mijil, pangkur, pucung, wirangrong dan ladrang. Seluruh pupuh tadi diajarkan secara bertahap sejak di bangku sekolah dasar hingga menengah atas.

Yang paling akrab di telinga penulis dari 17 pupuh di atas itu hanyalah pupuh asmarandana, kinanti, mijil, dan
dangdanggula. Di dalam Pupuh asmarandana adalah pupuh yang bercerita tentang rasa cinta seseorang terhadap kekasihnya, keluarga atau sahabat. Pupuh kinanti menceritakan penantian seseorang yang sedang jatuh cinta. Dan Pupuh dangdanggula selalu berisi dalam hal-hal yang menenteramkan dan serta membahagiakan orang yang terbiasa mengumandangkannya.

Sementara pada pupuh mijil menceritakan arti kesedihan sekaligus harapan.Lawak atau banyolan (komedi) tentang kehidupan sehari-hari adalah isi pupuh balakbak. Sementara lawak yang berisi renungan menjadi jiwa pupuh lambang. kemarahan dan semangat adalah ciri khas pupuh durma. Kesedihan, kesusahan hidup dan rasa duka lainnya disampaikan dalam bentuk pupuh g ambuh. Sementara mimpi dan khayalan seseorang ditulis dalam bentuk pupuh gurisa. Kebingungan
akan masalah yang sedang dihadapi kerap kali ditulis dalam bentuk pupuh juru demung. Semua pupuh tersebut ditulis dan diucapkan dalam bahasa sunda dengan disertai iringan suling dan petikan kecapi. Penyesalan adalah tema
utama pada pupuh magatru.

Sementara kesedihan yang mendalam menjadi tema maskumambang. Bagi yang mendapatkan tugas yang berat biasanya selalu menuliskan perasaannya dalam bentuk pupuh pangkur. Kekesalan dan kemarahan terhadap diri sendiri dilampiaskan dalam bentuk pupuh pucung. Sementara kebahagiaan diceritakan dalam pupuh sinom. Sedangkan rasa malu akan tingkah laku sendiri adalah tema pupuh wirangrong.

Sindiran terhadap orang lain merupakan tema pada pupuh ladrang. 17 pupuh di atas ditulis dan diucapkan dalam bahasa sunda dengan iringan suling disertai petikan kecapi.Kesadaran yang seakan rendahnya kemampuan dalam berbahasa sunda priangan dan pentingnya penguasaan bahasa Sunda sebagai ajeun diri urang Sunda mendorong penulis ikut serta dalam sebuah komunitas yang di dalamnya berisi pembelajaran bahasa dan sastra Sunda. Pembelajaran yang disampaikan melalui aplikasi WhatsApp ini diikuti oleh 89 peserta yang seluruhnya merupakan guru yang mengajar di wilayah provinsi Jawa Barat d a r i b e r b a g a i j e n j a n g Pendidikan, seperti SD, SMP, MTs, SMA, dan SMK. Dari seluruh peserta yang notabene merupakan penduduk Jawa Barat tersebut diketahui hanya 10% yang cakap berbahasa sunda dengan struktur bahasa yang baik dan benar. 5,6% yang mampu dan menguasai sastra Sunda dengan baik. Hal ini terbukti dari kemampuan mereka menulis carpon alias carita pondok, puisi sunda, carita alit dan lain-lain yang diterbitkan di majalah Mangle.Sisanya masih perlu banyak belajar kepada mereka yang dianggap pupuhu ini.

I n i c uk up m e n j a d i gambaran bahwa jangankan masyarakat umum, guru saja karena tugas keprofesiannya
menjadi digugudan ditiru oleh masyarakat pun masih banyak yang tidak mampu berbahasa Sunda dengan baik dan benar.

Inilah kondisi riil yang ada saat ini. Ketidakmampuan pada masyarakat Jawa Barat pada umumnya dan Bogor khususnya ditengarai diakibatkan oleh perkembangan zaman yang sangat pesat. Perkembangan zaman yang lebih menitik beratkan pada bidang teknologi ini telah menggerus budaya sunda dari masyarakatnya sendiri, terutama bahasa. Anakanak yang lahir dari pasangan ibu bapak orang Sunda pun tidak mampu berbahasa sunda lantaran di rumahnya mereka tidak dididik menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu. Bahasa Sunda pun akhirnya menjadi bahasa asing di rumahnya sendiri.

Oleh sebab itu perlu kesadaran semua pihak dibarengi upaya nyata untuk kembali menempatkan bahasa sunda sebagai bahasa ibu bagi penduduk Jawa Barat yang merupakan orang Sunda. Ini diperlukan agar ajeun diri urang Sunda tidak hilang dan terlupakan zaman. Bukankah menguasai bahasa asing, mengutamakan bahasa nasional dan melestarikan bahasa daerah adalah tugas kita bersama? Mari kita mulai belajar menggunakan bahasa Sunda dari diri kita sendiri, lingkungan terdekat dengan kita dan keluarga kita.

Semoga bahasa Sunda lestari di bumi Parahyangan.

***

Biodata
Neneng Hendriyani, lahir di Bogor, 9 Agustus 1982. Sejak kecil hobi membaca dan menulis. Pendidikan terakhirnya
adalah Magister Pendidikan B a h a s a I n g g r i s . K a r y a tunggalnya bervariasi dari puisi, esai, buku pelajaran hingga novel remaja. Hingga tahun 2019 ada 10 judul buku terbit berISBN. Yaitu, Albatros (2019),
Enrichment Book for XI SMK Based onCurriculum 2013 revision (2018), Antologi Bunga Rampai Goresan Pena Guru Jawa Barat (2018), Let’s Learn English Together (2018), Perlukah Kita Jujur? (2018), Setangkup Rindu dari Masa Lalu (2017), Janji Firly (2017), Tips Mudah Menulis Proposal dan Laporan Penelitian Tindakan Kelas (2017), Bogor: Peninggalan Sejarah dari Masa Ke Masa (2017), Antologi puisi Bogorku, Bogormu, Bogor Kita (2017) dan Alih Kode dan Campur Kode: Strategi Siswa Dalam Berbicara Bahasa Inggris (2017). Penghargaan sebagai penulis puisi batik terbaik Bogor 2017 mendorongnya ikut serta dalam berbagai sayembara penulisan puisi tingkat nasional d a n i nt e r n a si o n al. H a s i l sayembara tersebut dibukukan dalam Senyuman Lembah Ijen (Antologi puisi Nusantara ditulis
bersama penyair Asia Tenggara, 2018), Antologi 50 Opini Puisi Esai Indonesia (2018), Antologi Puisi Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival (2018), Antologi Puisi penyair Asean 2018 (Kunanti di Kampar Kiri) dan Antologi Puisi penyair Asean 2019 (Membaca Asap). Karya Nulis Bareng yang tercatat pernah dihasilkan adalah antologi Jangan Berhenti Mengajar (2017), Menghidupkan Ruh Dewi Sartika-Seri Puisi (2017), Menghidupkan Ruh Dewi Sartika-Seri Esai (2017), Antologi puisi: Ilalang di Atas Batu (Google Play Store, 2018), Antologi Fiksi Mini Pelita di Mata Pelangi (2019), 1001 Membuat Guru-Siswa Suka Baca Buku (Buku 2) (2019) dan kumpulan cerita anak penumbuh budi pekerti Untuk Anakku (2019). Karya tulis lainnya berupa esai dan artikel terbit di Pikiran Rakyat, Bali Pos dan Majalah Kandaga Balai Bahasa Banten sejak 2017-2019. Tulisannya pun dapat dijumpai di https://nhwork.web.id.