Mantan Tetangga

“Ya, Allah. Buat siapa makanannya, Bang?” Tanyaku.

“Buat si jantung hati, lah.” Ledek adiknya.

Abang cuma menunduk. Tak berani dia menjawab pertanyaanku. Aku makin penasaran. Kok bisa anak laki-laki pertamaku ini bersikap bodoh seperti itu. Setan apa yang sudah membujuknya hingga dia begitu berani pergi jauh ke tempat di mana arus lalu lintas begitu ramai. Papanya menghela napas panjang. Wajah Abang makin ditekuk. Jelas sekali dia begitu ketakutan. Terakhir kali dia berbuat salah sebuah bilah bambu mendarat berkali-kali di bokongnya. Aku hanya bisa mengusap wajahku. Ngeri membayangkan kejadian itu terulang lagi malam ini.

“Bang, bener itu?” Tanyaku dengan suara yang lemah. Duh, beginilah bila asma mulai menyerang. Setiap kali panik aku pasti kesulitan berbicara. Anggukan lemahnya membuat napasku kian berat.

“Siapa namanya?” Aku makin penasaran ingin tahu siapa anak perempuan yang berhasil membuat anakku segila ini. Bagaimana bisa dia yang penakut bisa begitu berani menantang bahaya di jalan raya?

“Itu, Ma, mantan tetangga kita.” Adiknya bermain teka teki.

“Mantan tetangga? Memang kita punya mantan tetangga?” Aku mulai kesal. Sejak kapan ada mantan tetangga, pikirku dalam hati. Anak-anakku kian berubah rupanya.

“Iya, Ma. Dia anak mantan tetangga. Kan memang mantan tetangga. Kata Mama dulu kalau bekas itu sama dengan mantan. Tuh, waktu kepala sekolahku diganti dengan yang baru Mama bilang nggak boleh bilang bekas kepala sekolah, kan? Harus bilang, mantan kepala sekolah. Nah, tuh cewek anak bekas tetangga kita yang ngontrak depan rumah kita. Nah, berarti mantan tetangga. Iya, kan?” Anak laki-laki keduaku yang kritis menjelaskan panjang lebar.

Aku terbelalak. Sedikit pun tidak menyangkanya. Anak perempuan yang sudah membuat Abang tergila-gila itu adalah anak tetanggaku sendiri. Kulitnya putih mulus. Sepasang matanya sipit. Bibirnya mungil dan merah. Rambutnya pendek sebahu dan berponi. Usianya setahun di atas Abang namun tingginya hanya sebahunya. Dia begitu mungil. Mirip boneka. Sungguh, aku tak menyangka dia tipe perempuan yang dipuja Abang selama ini.

“Kok Abang suka sama dia?” Tanyaku berusaha mengorek keterangannya.

“Dia cakep, Ma.” Akhirnya mulutnya bicara.

“Cakepan juga Syifa.” Kataku meledek.A ku teringat Syifa yang pernah diubernya di lapangan sekolah beberapa minggu lalu.

“Ih, Mama nggak paham perempuan cakep. Dia itu cakep, Ma.” Belanya.

“Apa buktinya dia cakep?” Papanya tiba-tiba bertanya. Anakku gelagapan.Tak sangka papanya memperhatikannya sejak tadi.

“Jantungku deg-degan kalau ketemu dia. Suwer, Pa. Tahu, nggak? Padahal aku sama dia tuh jauh loh. Jauuuh banget. Dia di depan rumahnya, aku di depan lapangan. Kan, jauh tuh. Nah, jantungku sudah nggak keruan dibuatnya. Langsung deg degan, gitu. Kalau ke Syifa sih nggak pernah begitu.” Cerocosnya.

“Menurutmu Mama cakep, nggak?” Selidikku.

“Cakep” jawabnya tegas dan spontan. Aku senang sekali mendengarnya.

“Coba pegang Dada Abang, apa deg degan juga?”

“Ya, nggak lah. Aneh, Mama mah.” Protesnya.

“Loh, tadi katamu dia cakep karena bikin kamu deg degan. Terus kamu juga bilang Mama cakep. Berarti kan kamu juga deg degan lihat Mama.” Kataku masih berusaha meyakinkan diriku bahwa anakku masih bocah ingusan.

“Aduh, Mama. Beda, lah. Mama itu cakep karena mama aku. Kalau dia itu cakep karena … aku suka dia.”

“Suka? Apa itu suka?”

“Ya, suka. Seperti Mama dan Papa.” Ekor matanya melirik ke arah papanya yang masih asyik memegang gawai.

“Memangnya menurutmu Mama dan Papa suka-sukaan?” Tanyaku.

Hm. Aku sepertinya harus segera insyaf. Anak yang sedang berbicara di depanku ini sepertinya sungguh-sungguh sudah berubah. Bukan anak ingusan yang selalu merengek minta dibelikan es krim dan mainan baru tiap kali aku pergi.

“Ma, ih serius deh. Pertanyaanku belum dijawab.” Dia memegang tanganku.

“Yang mana?” Tanyaku kembali lembut.

“Itu soal perempuan itu nyebelin.”

“Apa menurutmu Mama ini menyebalkan? Mama kan perempuan. Apa menurutmu kakakmu juga menyebalkan? Dia pun perempuan.”

“Mama nggak sih. Kalau kakak ya kadang-kadang nyebelin. Tetapi ini bukan soal kalian, Mama. Ini soal perempuan secara umum. Ingat, ya. Umum.” Gayanya seperti anak yang biasa kuhadapi di kelasku saat matanya menantang penjelasanku. Aku tak punya pilihan.

“Perempuan itu makhluk manis, Abang. Sikapnya tergantung sikap Abang kepadanya. Dia pasti menyenangkan kalau Abang juga bersikap menyenangkan.” Jelasku.

“Ah, bohong. Buktinya dia nolak aku padahal aku sudah bela-belain loh naik sepeda belikan dia coklat dan es krim.” Sungutnya.

Spontan kami semua tertawa terpingkal-pingkal. What a sweet boy he is!
“Widiwwww, sweet banget sih, kamu. Anak orang dibelikan es krim dan coklat, aku aja nggak pernah dibelikan.” Kakaknya yang sedari awal acuh tak acuh mulai tak tahan berkomentar.

“Ye, siapa kamu minta dibelikan! Minta saja ke Papa, kamu kan anak kesayangan Papa.” Elaknya.

Aku terperanjat. Jadi selama ini dia menyimpulkan bahwa kakaknya anak kesayangan papanya. Sementara dia bukan. Duh, gusti.

“Ye, seenggaknya aku tuh berguna buat Lu. Sarapan tiap pagi tuh buatan aku. Kalau aku nggak buat apa kamu bisa makan?”

“Hah, itu mah kecil. Lupa, ya sejak TK aku sudah bisa masak nasgor special?” Ledeknya.

(Bersambung)

(Karadenan, 5 November 2020; 10:09 wib)

#Day02NovAISEIWritingChallenge
#gareulis_gln_jawabarat
#smafour