Mas Ken dan Cerita Pagi Ini

Pagi ini Mas Ken ingin membuat brownies ubi ungu. Sebenarnya resep bolu ini berasal dari kawan dekatku yang juga sama-sama berprofesi sebagai editor. Namanya Ika Sari. Dia tinggal di Jogyakarta. Dia yang memberikan resepnya ini saat aku iseng melihat statusnya di WhatsApp. Karena kekurangan bahan maka resep yang diberikan terpaksa diubah olehku yang lalu dieksekusi anak laki-laki keduaku, Mas Ken.

Ubi ungu kukus yang kemarin sore tidak habis untuk cemilan itu dihaluskannya dengan bantuan sendok makan. Dengan tambahan sebutir telur, setengah sendok makan pengembang kue, dan tujuh sendok makan gula pasir jadilah ia adonan brownies.

Mas Ken sudah pandai dan cekatan merapikan dan menyiapkan peralatan membuat kue. Diolesinya loyang brownies dengan mentega sisa bolu sayur kemarin pagi. Dipanaskan ya oven di atas kompor. Setelah itu ia menuangkan adonan ke dalam loyang dan meletakkan loyang ke dalam oven yang sudah panas.

Senyumnya mengembang tatkala dilihatnya adonan mulai menguning. Diambilnya garpu dan ditusuknya adonan tersebut. Sayang masih lengket dan menempel di ujung garpu. Ditutupnya lagi pintu oven.

Aku memberi tahunya bahwa dia harus menunggu setidaknya 20-25 menit bila ingin mendapatkan brownies panggang yang benar-benar matang. Kecut dipandangnya jam dinding. Aku membujuknya untuk lekas mandi. Dia memang belum mandi saking semangatnya mencoba resep baru.

Sebelum membuat bolu dia sudah berjibaku di dapur sejak jam enam pagi. Dituangkannya tepung milky pudding yang kubeli di sebuah toko beberapa hari lalu. Berkali-kali dia bertanya bagaimana ini, bagaimana itu. Aku bilang, “Baca baik-baik petunjuk di kotaknya. Ikuti semuanya dengan benar. Kamu pasti bisa.”

Ternyata benar. Dia bisa melakukannya. Aku bangga dia berhasil membuatnya sendiri dengan bantuan petunjuk yang diberikan oleh produsen produk tersebut. Hasilnya, ada 5 buah gelas milky pudding yang dia letakkan di meja makan untuk menu sarapan kami bersama.

Usianya memang baru sembilan tahun dan baru kelas tiga SD. Namun, rasa ingin tahu dan keberaniannya mencoba sesuatu yang baru membuatku bangga. Inilah anak keduaku, Ken Jayawardhana.

#Day3December_AISEIWritingChallenge

Bolu Sayur Ala Pandemi

Ini kali bukanlah yang pertama aku membuat bolu. Meskipun tidak mengembang seperti pada umumnya bolu panggang tetapi rasanya tidak kalah enak dan mengenyangkan. Maklumlah. Ha ha ha.

Berawal dari sisa juicer buah dan sayur yang kuminum pagi ini bolu panggang ala Pandemi pun matang. Ya, semua bahannya ada di rumah. Tidak perlu mencari keluar dan sengaja membelinya di toko bahan kue. Cukup pakai semua bahan yang kebetulan ada di ruang dapur sederhana 1,5 x 2 meter. Dengan begitu nggak perlu repot ke luar rumah menggunakan masker dan mengambil resiko tinggi bertemu orang-orang yang tidak tahu apakah sehat atau sudah terpapar virus.

Cara membuatnya pun sederhana. Sebutir telur ditambah pengemulsi dan pengembang kue dikocok. Tak lupa masukkan gula dan margarin sesuai selera. Kocok terus hingga memutih. Takarannya sesuaikan dengan rasa manis dan gurih yang diinginkan. Setelah itu masukkan sisa juicer yang berupa ampas nanas, buncis, brokoli dan pakcoy. Ampas ini sebenarnya bukan ampas dalam arti yang sebenarnya, ya. Berhubung juice extractorku lagi ngadat jadi aku pakai juicer biasa untuk membuat jus. Maka hasil jusnya tidak sebanyak yang dihasilkan oleh juice extractor. Masih banyak nutrisi alias saripati yang tertinggal di ampas juice tadi. Nah, ampas inilah yang kugunakan sebagai tambahan bahan bolu.

Setelah semuanya diaduk rata barulah dituangkan ke dalam cetakan bolu yang sudah dilapisi mentega. Berikan irisan nanas dan parutan keju di atasnya. Lalu, panggang deh. Waktu pemanggangannya cukup 20-25 menit. Setelah matang, angkat dan dinginkan.

Mudah, kan?

#Day2AISEIWritingChallenge#december2020

Mengenal Carousell

Dua hari terakhir ini aku sedang keranjingan berselancar ke beberapa platform belanja online. Dari yang mengkhususkan diri menjual barang-barang baru dan berkelas hingga yang khusus menampung barang-barang layak pakai. Semuanya kupelajari dengan saksama.

Pilihanku akhirnya jatuh ke Carousell. Sebuah jaringan perdagangan online yang membuka pintu usaha bagi siapa pun dari rumahnya masing-masing. Semua barang yang awalnya dianggap tidak penting bagi si empunya di sini menjadi barang yang begitu didambakan bagi orang lain.

Banyak sekali barang berkelas yang dijual bebas dengan harga yang terjangkau. Ada yang masih baru, ada juga yang pernah dipakai. Meskipun pernah dipakai bukan berarti tidak layak pakai lagi. Barang-barang yang pernah dipakai (preloved/used) ini masih layak dipakai loh.

Banyak sekali alasan orang menjual barang-barang berkelas tersebut di sini. Kebanyakan karena tidak ada lagi tempat untuk menyimpannya. Ada juga yang mau pindah rumah sehingga terpaksa menjual barangnya. Ada juga yang sudah selesai kuliah dan tidak lagi ngekost. Ada juga yang sudah bosan. Intinya apa pun alasannya yang jelas barangnya benar-benar masih bagus.

Di sini selain aku bisa berbelanja aku pun bisa membuka toko online. Persis seperti di Tokopedia, Bukalapak, OLX dan lainnya. Tinggal pilih mau jual apa, tentukan kelompoknya, tentukan harganya dan jangan lupa alasan menjualnya, beres. Begitu mudah dan simple.

Untuk keamanan, insya Allah belanja di sini aman. Kita bisa berkomunikasi langsung dengan pedagangnya. Kita bisa mengajukan penawaran terhadap barang yang dijual. Bila pedagang setuju maka lanjut ke pengecekan ongkos kirim. Setelah mengirim sejumlah dana yang disepakati bersama dengan pedagang, resi pengiriman pasti dikirim ke kita.

Kalau masih takut belanja di sini karena takut ditipu menurutku wajar. Di platform apa pun yang namanya penipuan ya pasti ada. Semua tinggal kembali ke individunya masing-masing. Sejauh kita sendiri tidak pernah menipu atau berniat menipu insya Allah kita tidak akan ditipu.

Lalu apa bila kita ditipu apa itu berarti kita pernah menipu?

Pembaca yang baik ketahuilah satu hal. Apa pun kejadian buruk yang menimpa kita misalnya ditipu dalam perdagangan online itu sebenarnya adalah cara Allah SWT sedang mengajari kita sesuatu yang belum kita ketahui. Tetap berpikir positif dan berikan kepercayaan kepada semua orang. Dengan begitu kita akan merasa nyaman bertransaksi dengan siapa pun.

Berangkat dari pemikiran inilah maka aku pun memberanikan diri menitipkan asa di Carousel. Sejumlah buku yang menjadi koleksi sejak masih sekolah dulu kujual di sini. Ya, daripada mubazir tidak ada yang baca, selain rak bukunya juga sudah perlu diperbaiki maka alangkah lebih baiknya kutitip jual di sini dengan harga yang bersahabat.

Yuk, main ke sini dan belanja buku dengan riang dan tanpa lelah dari rumahmu.

Kumpulan Soal ulangan harian bahasa Inggris untuk SMA Kelas XI

Herbal treatment for high blood pressuressure

#dec1aiseiwritingchallenge
(Karadenan, 3 Desember 2020)

Hadiah Tak Terduga

Di sela-sela kegiatan utama sebagai ibu rumah tangga dan pekerja profesional di bidang pendidikan aku masih berupaya menyisihkan waktu dan pikiran untuk menekuni hobiku. Sebuah hobi yang tidak terlalu memakan banyak biaya tentunya namun tetap menyenangkan. Apa lagi kalau bukan menulis.

Dengan menulis aku bisa curahkan semua cita-cita, keinginan, harapan, bahkan kekecewaan dalam bentuk yang positif. Tujuannya sederhana tentu saja. Yaitu berbagi pengalaman kepada sesama agar pembaca dapat mengambil hikmah dari apa yang ku tuliskan.

Sebagai ibu rumah tangga tentu saja aku seringkali merasa lelah, khawatir dan cemas. Ada saja hal yang membuat jantung berdetak lebih cepat dan mulut bernyanyi seriosa tujuh oktaf. Penyebabnya kadang sepele. Anak yang terlambat bangun pagi, tidak mengerjakan ibadah salat dan mengaji, malas belajar dan asyik main game. Kadang penyebabnya juga lumayan berat. Seperti tidak ada yang membantu membersihkan rumah dan lingkungannya. Bila sudah begini ya pasti lagu-lagu lawas dengan nada-nada tinggi sudah menggema di seantero ruangan dengan luas 100 meter persegi.

Untuk menjaga agar tetap bahagia, waras, sehat dan menikmati hidup itulah aku menulis. Untuk kegiatan yang satu ini kadang aku mendapatkan apresiasi berupa hal-hal yang tidak terbayangkan sebelumnya. Sebut saja, hadiah buku dari panitia AISEI yang baru saja memilih karya cerbungku tentang Pacar Anakku sebagai karya pilihan beberapa waktu lalu. Selain itu panggilan mengisi materi penulisan dari beberapa lembaga dan komunitas. Ada juga yang mengirimkan sejumlah koin ke rekening karena tulisanku yang dimuat di medianya. Besarnya bervariatif. Tergantung jenis tulisan dan media yang memuatnya.


(Dok. Pribadi)

Nah, pada hari ini Selasa, 17 November 2020 aku baru saja menerima sepaket hadiah buku dari PT Kuark Internasional. Paket hadiah ini sangat bermanfaat untuk anak-anakku di rumah. Isinya tentang beberapa materi berharga mengenai kegiatan yang bisa dilakukan di rumah. Ada tutorialnya membuat katrol tetap dan katrol majemuk. Ada juga eksperimen mengenai lilin pengusir nyamuk.

Hm, kalau kamu yang suka menghitung hadiah dari sisi uang silakan hitung sendiri deh berapa jumlah yang dikeluarkan oleh pengirim hadiah ini kepadaku. Bagiku sendiri ini adalah hadiah yang tak terhingga. Nilainya lebih tinggi dari sejumlah uang yang ditransfer ke rekening. Sepaket hadiah buku ini harganya jauh lebih mahal dari itu. Tahu kenapa? Jawabnya sederhana. Buku adalah sahabat yang paling berharga. Dia tidak pernah meninggalkanmu di kala kau menderita. Tidak pernah pula menyindir dan menyakitimu baik di depan maupun di mukamu. Dia selalu ada memberikan isinya untukmu bila kamu mau memikirkan isinya. Dia selalu setia membimbingmu menuju kebaikan.

Jadi, mari terus menulis dan biarkan hadiah-hadiah berikutnya tiba di depan rumah seperti biasanya.

#Day11NovAISEIWritingChallenge
#gareulis
#hikmahmenulis
#lewattulisanmariberdakwah
#17nov2020
#11.23pm

Lewat Tulisan

“Ma, kok Mama nulis terus sih? Nggak bosen?” Tanyanya.
Kuusap punggungnya. Malam kian larut. Detik demi detik terus berlari mengejar pagi. Dia masih terjaga menemaniku.

“Sebentar, ya. Sebentar lagi. Ok.”

Dia masih menunggu. Mau tidak mau aku harus menjawabnya.

“Ini bukan soal setoran tulisan, Nak. Ini soal berbagi. Berbagi cerita, ide, pengalaman, impian dan juga harapan. Tulisan yang Mama tulis dan publikasikan di blog ini adalah kumpulan ide, pengalaman, impian dan harapan Mama selama ini. Ada banyak kisah yang tersebar di sini. Ada banyak informasi yang berguna di sini. Ada tentang kamu, juga yang lainnya.”

“Apa itu semua bermanfaat, Ma? Mending Mama belajar bikin kue aja deh dari YouTube. Kue buatan Mama kan bantet terus.” Bibirnya manyun.

Aku tertawa. Teringat beberapa hari lalu kue brownis yang kubuat bantet. Itu bukan kali pertama aku menghasilkan kue yang bantet. Aku sudah menonton video tutorialnya berkali-kali. Semuanya bahkan dicatat rapi. Tetapi hasilnya ya begitu terus. Tetap bantet.

Aku tak marah mendengar anakku berkata begitu. Dia belum paham. Suatu hari dia akan paham bahwa lewat tulisan kita bisa berbagi banyak hal yang bermanfaat untuk sesama.


(Dok.Pribadi)

Tulisan adalah sahabat terbaik. Dia menjadi karya yang indah saat kita menginginkannya menjadi indah. Dia bisa menjadi penasihat saat kita menulisnya dengan penuh kesadaran untuk menasihati seseorang yang kita cintai. Bahkan dia bisa menjadi wakil dari diri kita sendiri saat kita tidak bisa menyampaikannya secara langsung.

Jadi mari kita menulis dan berbagi. Lewat tulisan kita bagi kisah hidup yang bisa menjadi sumber motivasi dan inspirasi. Lewat tulisan kita titip harapan untuk masa depan. Lewat tulisan kita bisikkan semua harapan untuk orang-orang tersayang.

Jangan berhenti menulis. Teruslah menulis. Jangan merasa sibuk dan kehabisan ide. Ide ada di sekitar kita dengan bebasnya.

#Day10NovAISEIWritingChallenge
#gareulis
#hikmahmenulis
#lewattulisanmariberdakwah
#13nov2020
#0853pm

Hari Pahlawan Buat Mas Ken

“Ma, kok pakai baju korpri? Kan biasanya Mama nggak pernah pakai sejak mengajar dari rumah?” Dia bertanya saat aku sedang asyik mematut di depan kaca.

“Hm, hari ini Hari Pahlawan, Mas”.

“Oh. Mengapa kita harus memperingati Hari Pahlawan? Memang kalau nggak diperingati nggak boleh, ya?”

“Maksudnya?”

“Iya, apa nanti dihukum bila nggak diperingati?”

“Siapa yang hukum?”

“Aku nggak tahu. Makanya aku tanya.”

Aku bingung menjawabnya. Masa iya kujawab hari ini aku memakai seragam korpri karena kubaca pengumuman di grup pegawai. Kan nggak lucu. Apa kata dia nanti. Anak yang satu ini sangat kritis. Dia tidak akan puas mendapati jawaban yang asal-asalan.

“Mas. Kita ini kan bangsa yang beradab. Artinya mampu menghargai orang lain. Nah, kita memperingati Hari Pahlawan pada hari ini karena kita menghormati jasa-jasanya. Mereka sudah berkorban banyak agar kita bisa hidup merdeka hari ini. Kita bisa bersekolah dengan aman dan nyaman berkat jasa-jasa mereka. Coba kalau dulu mereka nggak melawan penjajah apa kita bisa sekolah? Bagaimana mau sekolah kalau penjajah melarang kita semua ke sekolah?” Aku balik bertanya.

“Kenapa mereka melarang kita sekolah? Kan di sekolah cuma belajar, Ma?” Tanyanya.

“Mas, penjajah itu nggak mau rakyat jajahannya pintar seperti kamu. Kalau rakyat jajahannya pintar mereka nggak bisa menjajah lagi.”

“Kok gitu?”

“Ya iyalah. Mau menjajah gimana kalau semuanya pintar? Semua pasti berontak kan karena tahu siapa diri mereka dan kemampuan yang mereka miliki.”

“Kalau gitu kenapa aku juga harus belajar menghapal nama-nama pahlawan? Memang penting ya, Ma menghapal nama-nama mereka? Apa kalau nggak hapal nanti nggak masuk surga?”

Aku kaget mendengarnya. Dapat dari mana itu pertanyaan model begitu. Ya, Tuhan.

“Mas, kamu menghapal nama-nama pahlawan itu disuruh siapa?” Aku balik bertanya. Ini untuk mengulur waktu sambil mencari jawaban yang tepat untuknya.

“Bu Guru lah. Kemarin dia bilang aku harus membaca kisah pahlawan. Nanti aku disuruh presentasi menjelaskan tentang kenapa dia disebut pahlawan. Eh, Ma. Tahu nggak. Aku nanti pakai voice note loh di WhatsApp buat presentasinya. Keren, kan.”

Aku tertawa mendengarnya. Ya, ampun ini anak.

“Itu mah bukan disuruh menghapal nama-nama pahlawan, Mas. Tetapi disuruh baca dan pelajari soal pahlawan. Kamu mau baca ceritanya siapa?”

“Baca? Nggak, ah. Aku kan sudah nonton filmnya Sultan Agung. Itu aja yang aku jelasin nanti. Sultan Agung kan pahlawan juga.” Sorot matanya terlihat berapi-api. Aku bangga melihat kepercayaan dirinya.


(Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sultan_Agung_dari_Mataram)

“Eh, Ma. Mama tahu nggak kenapa Sultan Agung tetap menyerbu Batavia padahal dia juga nggak yakin menang?” Tiba-tiba dia bertanya saat aku sudah siap menyalakan mesin Vario.

“Mas, menurutmu sendiri apa?” Aku memancingnya.

“Kalau kata aku sih dia ingin membuktikan bahwa bukan hasil perjuangan yang ingin dia capai. Dia ingin menunjukkan bahwa sebagai Raja dia menolak sikap angkuh dan curang penjajah. Jadi dia menunjukkan usahanya. Ya, meskipun kalah tetapi dia hebat.” Anakku menjawabnya dengan penuh semangat.

Aku tersenyum kepadanya. Andai tidak takut terlambat aku pasti sudah membalasnya. Segera aku berpamitan. Sepanjang jalan aku kembali merenungi kata-kata anakku tadi. Bukan soal menang yang ingin dicapai oleh sang tokoh yang sangat dikaguminya. Tetapi soal semangatnya yang pantang menyerah.

Selamat Hari Pahlawan. Semoga Indonesia Jaya.

#Day09NovAISEIWritingChallenge
#haripahlawan
#sultanagung
#masken
#gareulis
#aisei
#13nov2020
#0823pm

Aku dan Dia

Dalam sebuah kompetisi menang dan kalah adalah hal biasa. Tak ada yang istimewa. Bagi pemenang ini bukan sebuah akhir perjuangan. Masih ada kompetisi lanjutan yang menunggu untuk ditaklukkan. Bagi yang kalah pun sama. Meskipun kecewa tetapi tetap harus menyimpan semangat baja. Esok lusa harus kembali turun ke gelanggang menguji kemampuan. Apakah masih sama, ataukah sudah naik kemampuannya? Begitulah seharusnya yang dilakukan oleh keduanya.

Aku yang telah terjun langsung mendidik dan melatihnya pun sama. Meskipun sadar betul anak sulungku masih terlalu hijau rasanya tak kuasa melihatnya kalah. Sebelum menguatkan dirinya dengan segudang kalimat motivasi yang pernah kubaca aku sudah jauh-jauh hari menasihati diri sendiri. Inilah kompetisi. Ini pasti terjadi. Menang kalah adalah hal yang biasa terjadi.

Melihat wajahnya nan polos berlatih tertatih-tatih mempelajari apa yang baru dikenalnya membuatku insyaf. Dia bukan aku. Meskipun wajah kami mirip tetapi talenta berbeda.

Mimpi-mimpi yang dia miliki tak sama dengan mimpiku. Harapan yang dipupukkembangkannya jauh berbeda denganku. Motto hidupnya begitu jelas. Menuju tak terbatas dan melampauinya. Begitu teguh. Sementara aku, aku hanya percaya langit tak selamanya kelabu. Selalu ada pelangi setelah hujan turun. Itulah yang membuat kami berbeda.

Meskipun dia kalah dia menerimanya dengan lapang dada. Tak ada derai air mata. Tak ada rasa sakit tergambar di wajahnya.

Sementara aku yang sudah khawatir akan rasa tidak nyaman yang bakal menghampirinya justeru kalang kabut. Kubaca lagi kumpulan kata mutiara yang pernah kubaca saat masih di jalan Pemuda Bogor. Sekuat tenaga aku berusaha menghapal semuanya. Agar bila dia menangis aku bisa membujuknya dengan mengutip kata-kata mutiara itu.


(Dokumentasi pribadi)

Andai aku tahu betapa dewasa dirinya tak perlu kuhabiskan waktu bersama kumpulan kata-kata tersebut. Cukup nikmati segelas kopi hangat dan roti bakar saja. Lalu biarkan angin malam bercerita betapa dia telah cukup dewasa belajar mandiri di sana. Menikmati siraman matahari pagi sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang menganggap air mata adalah tanah airnya.

#13november2020
#08.00pm
#Day08NovAISEIWritingChallenge
#gareulis
#smafour
#labasa2
#kabumisastra

Kisahku di Penghujung Tahun 2017

“Ma, mau ke mana? Kok bawa baju?” Tanyanya sambil menggenggam erat tanganku. “Aku ikut, ya?” Bujuknya.

“Nggak, sayang. Abang di rumah, ya. Jaga adikmu. Mama nggak boleh bawa kalian.”

“Memang Mama mau ke mana?” Dia mulai panik.

Sudah bukan rahasia bila aku sering meringis kesakitan. Semua anakku tahu dan paham. Sejak kecil mereka terbiasa melihatku meminum berbagai macam obat-obatan. Sejak kecil pula mereka kubawa ke mana-mana demi mencari obat paling mujarab.

Kini mereka panik. Tak ada yang boleh ikut. Pelan-pelan aku mendekati semuanya. Kujelaskan bahwa ini adalah aturan yang tidak boleh dilanggar. Detail sekali semuanya kujelaskan. Aku baru berhenti ketika aku melihat anggukan kecil mereka.

Pasrah kutinggalkan mereka semua di rumah. Hanya anakku yang baru berusia dua tahun yang sedang demam yang kubawa serta.


(Source: https://www.google.com/search?q=gambar+rumah+sakit+pmi+bogor&oq=gambar+rs+pmi&aqs=chrome.1.69i57j0.5167j0j4&client=ms-android-xiaomi&sourceid=chrome-mobile&ie=UTF-8#imgrc=_)

Sesampainya di lokasi aku langsung masuk ruang rawat. Di sana beberapa kali aku diperiksa oleh beberapa petugas. Selanjutnya aku diantar ke sebuah ruangan khusus untuk mengetahui kondisi tubuhku menjelang detik-detik operasi.

Dari pengambilan darah di daerah telinga, jari, cek tekanan darah, rontgen hingga akhirnya kembali ke ruang rawat inap untuk beristirahat dilakukan dalam waktu yang cukup singkat.

Malam itu aku tidur berdua dengan bayi yang baru kusapih beberapa hari. Kudekap tubuhnya erat. Kubisikkan kata-kata lembut di puncak kepalanya. “Bersabar, ya sayang. Semua akan baik-baik saja. Mama janji.”

Sejak jam lima pagi aku sudah mulai berpuasa. Detik demi detik berlalu dan itu sangat menyiksa. Aku tak takut lagi. Aku sudah pasrah. Hanya saja aku teringat wajah-wajah mungil yang menanti di rumah. Kuhela napasku.

Akhirnya seorang petugas datang menjemput. Aku dibawanya dengan kursi roda. Ini menggelikan sekali. Aku yang segar bugar dibawa ke ruang operasi dengan kursi roda. Aku tak bisa menahan malu saat berpapasan dengan beberapa orang. Terutama dengan pasien yang sudah uzur dan sama-sama duduk di kursi roda.

Aku masih merasa tenang hingga akhirnya sampai di pintu ruangan. Tertulis dengan huruf besar, Ruang Operasi. Ada sejumlah pengumuman yang ditempel di beberapa sudutnya. Kulihat beberapa orang sedang duduk di sisi kanan dan kiri pintu. Mereka begitu tegang. Entah mengapa aku pun mulai merasa tegang. Kakiku tiba-tiba tak bertenaga. Mereka memandangku. Kelihatannya mereka bingung kok aku yang segar bugar begini duduk di kursi roda dan berada di depan pintu seorang diri. Aku mencoba menyapa mereka. Senyum hangat nan tipis kulempar ke arah mereka. Aku hanya bisa melakukannya tanpa bisa berkata-kata. Petugas yang menjemput dari ruang rawat inap sedang berada di dalam. Dia masih sibuk berkoordinasi. Aku masih setia menunggunya di depan pintu sambil menghitung gerak jarum jam.

Tak lama dua orang petugas menghampiri. Dibawanya aku ke dalam. Sesampainya di sana aku diwawancarai oleh petugas. Selanjutnya aku dibaringkan ke sebuah ranjang. Sebelumnya aku disuruh mengganti pakaian dengan pakaian khusus.

Di dalam ruang operasi aku melihat ada beberapa petugas yang sudah stand by. Mereka menyapaku ramah. Aku kembali bersemangat. Kami bercanda ria. Obrolan kami seputar Go-Jek yang saat itu sedang naik daun.

Setelah disuntik bagian bawah punggung aku diminta berhitung. Kami bertaruh kalau aku tak bisa berhitung hingga hitungan sepuluh. Aku tertawa. Ini sebuah cara yang paling jitu untuk mencairkan suasana tegang yang menyelimuti seisi ruangan. Ternyata mereka menang. Aku tak ingat apa pun setelah menyebut angka delapan.

Aku baru sadar setelah seseorang menyapaku di ruang yang begitu luas. Lampu-lampu di sana tiba-tiba melayang bebas seolah terbang di atas ku. Pusing sekali. Aku begitu ngantuk.
Dalam kondisi itu kupejamkan mata sambil berbisik. Kiranya Allah melindungi anak-anakku di rumah.

Dua jam berikutnya aku diantar ke kamar. Masih setengah mengantuk aku menyapa suami dan si kecil. Kulihat si kecil menangis. Segera diletakkannya dia di sampingku. Kembali aku tidur bersamanya.

Keesokan paginya aku sudah sadar seratus persen. Pukul sepuluh aku sudah bisa pulang. Alhamdulillah.

Itulah kenangan di penghujung tahun 2017. Tepat saat sebagian sahabatku merayakan Natal aku diberikan kesempatan hidup lagi setelah sepuluh tahun berjuang melawan sakit di bagian mamae.

#13November2020
#gareulis
#smafour
#Day07NOVAISEIWritingChallenge

Ultah Pertama Si Cantik

Beberapa hari lalu ia merayakan hari lahirnya. Sesungging senyum merekah sejak awal ia membuka mata. Sapaan selamat pagi dan peluk cium diterimanya senang hati. Kedua matanya berbinar laksana kejora.

Dia lah gadis kecilku. Putri kedua yang lahir setahun lalu. Dari lima anak, dia lah yang paling istimewa.

Lahir tepat di usia kandungan yang jauh dari hpl membuatku bergidik ngeri saat itu. Habisnya ketuban dan tiadanya kontraksi yang berkelanjutan membuat dokter kandungan terbaik di RSIA As Salam memutuskan kelahirannya via sectio Caesar.

Aku yang selalu takut berhadapan dengan rumah sakit hanya bisa menghela napas panjang. Dalam ruang IGD yang dijadikan tempat transit menunggu giliran masuk ruang operasi aku merenung. Mencoba mengingatkan diri sendiri akan segala hal yang terjadi setahun terakhir.

Ada banyak cerita, suka dan duka dijalani selama kehamilannya. Ada perjuangan yang baru dimulai saat masuk trimester pertama. Sungguh begitu luar biasa saat itu kejadiannya.

Masuk ke trimester kedua semua berjalan lebih baik dari sebelumnya. Usia yang tak muda lagi membuatku insyaf harus menjaga janin ini lebih ekstra. Tak boleh gegabah. Meskipun ini bukan kehamilan pertama aku tetap semangat menjaga dan menjalaninya.

Trimester ketiga sebuah kejadian buruk menimpa. Kecelakaan lalu lintas membuatku terpaksa mengurangi aktivitas fisik. Pulang pergi diantar jemput ojek online. Sebuah hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Akibat kejadian itu rupanya ketuban rembes. Itu sebabnya ia enggan keluar secara normal. Aku hanya menggelengkan kepala saat teringat wajah tegang dokter Win yang memeriksaku terakhir. Aku tahu ada yang tak beres. Namun, aku berharap ada keajaiban di sana. Sebuah keajaiban yang hanya ada di alam pikiranku saja. Karena hingga ujung hari berganti, keajaiban itu tak kunjung datang.


(Dokumentasi Pribadi)

Met milad putri kejoraku. Jadilah bintang kecil di dalam hidupku.

(Karadenan, 13 November 2020; 6:22 pm)

#Day06NovAISEIWritingChallenge
#gareulis_gln_jawabarat
#smafour

Anak Hebat

“Ma, kok diam aja sih dari tadi?”

Tak ada sahutan. Aku masih berpura-pura tak mendengarnya.

“Ma, Mama marah, ya?” Panik mulai kudengar. Kuintip raut wajahnya. Tak tega.

“Kenapa tadi rumah berantakan, Bang?”

“Oh, itu. Kirain ada apa.” Dia menarik napas. Lega sekali. “Aku tadi habis kerja kelompok di sini. Jadi, ya berantakan. Aku lupa beresin lagi.”

“Sama siapa?”

“Ya, teman-teman sekolah lah. Ada si Maul, Samad, Samud, Fahri, Sandi.”

“Itu teman kelompok belajarmu?”

“Iya. Mereka temen sekelompok aku di SBK.”

“Buat apa tadi dengan mereka sampai berantakan begitu?”

“Buat peta Indonesia, Ma.”

“Siapa yang buat?”

“Ya, bareng-bareng lah buatnya. Aku kan bantu nyediain tempat, gunting, kertas koran, lem. Nah yang bikin bubur kertasnya ya Samad dan Samud. Yang nempelinnya ya si Fahri dan Sandi.” Jelasnya santai seolah semuanya ok.

“Oh, keren banget ya, Kamu. Semua bahan kamu yang nyediain sampai-sampai koleksi koran Mama juga dipakai.” Kataku kesal.

Dia terkekeh. “He he ya maaf. Aku kan nggak tahu kalau itu penting.”

Ih, kesel banget deh. Mau marah, gimana. Nggak marah juga gimana. Aku segera meninggalkannya sendiri di ruang tengah. Kuperiksa lagi korban-korban yang sudah kupisahkan di lokerku. Untunglah masih ada cadangan. Yah, meskipun hanya ada beberapa setidaknya tidak hancur semua dibuat bubur oleh anak-anak.

“Ma, buat apa sih nyimpan koran bekas segala? Mending juga diloakin. Lumayan, kan.” Dia menghampiriku yang masih bengong lantaran bingung kemana harus mencari gantinya.

Kutatap sepasang matanya yang bulat. Setiap kali rasa ingin tahunya muncul kedua matanya membulat.

“Di sana ada tulisan Mama, Bang.” Jawabku sedih. Terbayang betapa susahnya aku mendapatkan koran-koran tersebut. Sebagian besar dikirim oleh kolegaku di Bali. Andai saja mereka tidak mengirimkannya aku pasti tidak punya bukti fisik bahwa aku pernah menulis di salah satu koran lokal Bali.

“Oh. Penting banget ya, Ma?” Tanyanya.

Aku mengangguk. Aku bingung bagaimana menjelaskan kepada anak seusia dia tentang pentingnya koran-koran itu bagiku. Tiba-tiba dia memelukku erat.

“Maafin Abang, ya Ma. Abang nggak tahu itu penting buat Mama.”

Aku memegang bahunya yang berguncang. Kuusap air matanya.

“Sudahlah. Jangan begini. Mama jadi tambah sedih.”

Dia segera melepaskan pelukannya. Ditinggalkannya aku yang masih duduk. Tak lama ia kembali lagi membawa sesuatu di balik punggungnya.

“Ini buat Mama.”

“Ya Allah, Abang. Makasih, ya.” Aku memeluknya erat. Tak kusangka dia telah mengamankan tulisan-tulisanku dari berbagai koran yang kusimpan.

“Dari mana kamu belajar cara mengkliping koran?” Tanyaku.

“Aku belajar dari YouTube. Gimana?”

“Ini sangat keren. Makasih, ya.”

Dibusungkannya dadanya. “Aku gitu loh. Anak pintar” ditepuknya dadanya sendiri. Kuberikan dua jempol kepadanya. Anak yang hebat.

#Day05NovAISEIWritingChallenge
#gareulis_gln_jawabarat
#smafour