PELITA DI MATA PELANGI

Ini adalah buku antologi yang berisi kumpulan cerita fiksi mini. Buku ini ditulis oleh guru yang menjadi anggota Komunitas Pegiat Literasi Jabar (KPLJ). Ada 43 guru yang telah mengirimkan karyanya di buku ini, termasuk aku. Untuk buku ini aku menulis dua judul; SEBUAH PESAN (halaman 117 – 120), dan DI TENGAH MALAM (halaman 121-122).

Khusus untuk buku antologi ini aku memang menulis dengan genre yang sedikit berbeda dari biasanya. Yaitu horror. Berikut isi tulisanku yang bisa ditemukan pada buku dengan ISBN 978-623-7080-10-7.

SEBUAH PESAN
Oleh: Neneng Hendriyani

Aku enggan menatapnya saat berlalu di ruang tengah. Dengan tergesa ku segera menutup pintu. Saat memutar kran hatiku berbisik. “Ada siapa itu di sana?”. Ah, lagi-lagi aku sulit konsentrasi bila terganggu seperti ini. Gemetaran tanganku membasuh wajah sambil komat kamit. “Duh, jangan perlihatkan wajahnya, ya Gusti. Aku takut”.
Segera langkahku dipercepat saat melintasi ruang yang sama. Tak bisa dipungkiri bulu kuduk berdiri semua. “Alamak! Dia ada di situ. Ada apa, ya?”. Diam-diam pikiranku melayang ke sebuah rumah papan di pojok kampung. Sebuah rumah yang nyaris roboh beberapa Minggu lalu. “Ah, itu rupanya yang hendak ia sampaikan”.
Aku tak tahu apa yang kulakukan. Jangan tanya padaku bagaimana aku bisa melihatnya. Aku tak bisa menjelaskannya padamu. Yang jelas aku berada di sana di tengah pohon bambu. Aku bergidik ngeri saat melihatnya menjulurkan lidah dan kedua matanya melotot ke arahku. “ Ya, Tuhan!”. Segera kututup mulutku dan pergi meninggalkannya tetap tergantung di sana. Hatiku trenyuh. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan itu terhadap dirinya sendiri. Aku masih ingat beberapa hari lalu ia menghubungiku di messenger. Tak banyak yang kami bicarakan. Hanya sedikit persoalan tentang silang sengketa tanah yang melibatkan banyak pihak saja yang kami bahas. Ia bertanya tentang segala kemungkinan yang akan terjadi bila tanah waris itu belum juga dibagikan hingga batas temponya berakhir sesuai dengan amanat sang kakek. Sayang sekali sebelum aku menjawabnya ia sulit dihubungi.
Perempuan itu masih terlalu muda sebenarnya. Namun inilah hidup. Tak ada muda dan tua. Tak ada miskin dan kaya. Semua menjalani suratan takdirnya. Sempat ku telisik warna bajunya sebelum pergi. Ya, masih sama seperti hari dimana kami pertama bertemu. Warna yang begitu mencolok; begitu kampungan menurut pamanku. Dulu aku tak sepakat dengan pendapatnya. Kini, aku harus menyetujui pendapat pamanku. Warna baju kesukaannya memang kampungan. Begitu mencolok di antara warna dedaunan dan kulit bambu sekarang. Ada bagusnya, sih. Ini akan memudahkan siapa pun untuk mengenalinya esok pagi. Sehingga sebelum zuhur ia sudah bisa dikebumikan.
Antara sadar dan tidak, ku raih smartphone yang terletak di atas meja rias segera setelah mengucapkan salam ke kanan dan kiri. Masih terlalu dini sebenarnya untuk mengganggu tidurnya malam ini. Namun ini harus tetap dilakukan sebelum semuanya terlambat. Aku tak ingin perempuan itu ditemukan lebih dahulu oleh para pencari kayu esok pagi. Akhirnya setelah lama mencoba aku bisa berbicara dengannya. “Waktunya telah tiba, Lik. Tabahkan hatimu. Apa yang kita tanam itulah yang kita petik. Jemput ia di ujung kebun bambu kampung sebelah. Bawalah dua orang dewasa bersamamu ya, Lik. Bersabarlah dengan segalanya. Jangan berbuat apa pun sebelum aku datang, okay. So, suruh Anto menjemputku di bandara siang ini.”

_karadenan, 16 Oktober 2018_

DI TENGAH MALAM
Oleh:
Neneng Hendriyani

Di tengah guyuran gerimis ia berlari dan terus berlari. Bayangan wajah si bungsu terus saja memenuhi rongga matanya seolah memanggilnya pulang dan memaksanya terus berlari menjauhi rumah Nenek Darmi. Ia semakin mempercepat larinya. Terseok-seok sampai jua ia dirumah. Dengan basah kuyup ia langsung berlari ke kamar anak-anaknya. Dipeluk cium nya keempat buah hatinya bergantian. Air mata deras mengalir di pipinya yang masih ranum. Ia sungguh takut kehilangan mereka.
Ini adalah malam ketiga ia begadang. Ia berharap semua masalah ini segera selesai. Ia semakin tersiksa.
Jauh berkilo-kilometer dari tempatnya berbaring, ayahnya sedang berjuang melawan maut. Sejak kapan pastinya ayahnya sakit ia pun tak tahu. Kabar sakitnya pun diterimanya melalui handphone seminggu yang lalu. Ibunya sendiri yang memanggilnya untuk datang di tengah malam buta saat si ayah semakin kritis.
Ya, malam itu jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh. Anaknya yang masih bayi baru tertidur pulas di gendongan sang ayah. Laptop pun baru saja dinyalakannya. Ia berencana menyelesaikan tugas kantornya yang biasa ia bawa pulang. Tiba-tiba hand-phonenya berdering. Lantunan fur elise karya Bethoven mulai terdengar semakin panjang. Segera ia meraih hand-phonenya yang diletakkannya sembarangan di atas kulkas.
“Wi, cepat pulang kerumah. Bapakmu sakit,” cerocos ibunya saat ia baru saja mengucapkan salam. Sebuah kebiasaan buruk yang tidak pernah bisa hilang dari ibunya, to the point tanpa melihat sikon.
“Ono opo tokh, bu?, iki wis wengi. Kasian anakku masih bayi dibawa keluar malam-malam”, tolaknya halus.
Di keluarga ibunya ada semacam pantangan keluar malam-malam. Nanti kena mala katanya. Apa itu mala, hingga kini Wiwi tak pernah tahu. Dulu ia mengira ibunya selalu mengatakan itu hanya untuk mencegahnya keluar malam minggu dengan pacarnya.
“Kamu ini kalau disuruh orang tua selalu saja menolak. Dasar anak tak tahu untung. Tak tahu sopan santun,” bentak ibunya. Ah, pengang rasanya telinga kalau sudah mendengar bentakan ibunya. Ciut hatinya seketika. Rasa hormat selalu kalah dengan ketakutannya.

BIODATA PENULIS

Neneng Hendriyani, M.Pd lahir di Bogor 09 Agustus 1982. Guru Bahasa Inggris di SMKN 1 Cibinong sekaligus penulis buku ini mencintai dunia sastra. Karya sastra yang telah diterbitkannya Antologi Puisi: Bogorku, Bogormu, Bogor Kita (2017), Antologi Kisah Guru Inspiratif: Jangan Berhenti Mengajar (2017), Antologi Seri Puisi: Menghidupkan Ruh Dewi Sartika Dalam Jiwa Para Guru (2017), Kumpulan Puisi Bogor (2017), Janji Firly (2017), Kumpulan Puisi Setangkup Rindu Dari Masa Lalu (2018), Antologi Puisi: Senyuman Lembah Ijen (2018), Antologi Puisi: Kunanti Di Kampar Kiri (2018), Antologi 50 Opini Puisi Esai Indonesia (2018), Antologi Puisi: Ilalang Di Atas Batu (Google Play Store, 2018). Untuk korespondensi sila hubungi WA: 085715773482, e-mail: nenghendri53@gmail.com.