Hidup Kembali (Part 1)

“Lahir kembali” sepertinya kok gimana, gitu ya? Apa iya orang hidup bisa lahir kembali? Bagaimana bisa?

Dalam berbagai pandangan agama mana pun sepertinya tak ada ajaran atau paham yang mengatakan bahwa seseorang bisa lahir kembali, terlebih bila yang bersangkutan masih hidup. Hanya agama Hindu dan Budha yang mengenal kelahiran kembali alias reinkarnasi. Itu pun setelah mengalami kematian fisik. Sementara yang dibahas di buku ini adalah kelahiran kembali sebuah jiwa dalam keadaan masih bernapas.

Untuk memahaminya jangan menggunakan bahasa yang sulit, ya. Bagi sebagian orang, kehadiran suatu hal yang begitu mengejutkan bisa menjadi alasannya untuk kembali hidup setelah kehilangan hidup itu sendiri. Bagi sebagiannya lagi justeru sebaliknya. Kehadiran suatu hal malah bisa membuatnya mati dalam hidup. Ia hidup, bernapas, makan, dan minum namun tidak lagi merasakan kenikmatan, kesenangan, dan harapan dalam hidup yang dijalaninya. Ia merasa sudah mati dalam hidupnya. Hari-hari yang dilaluinya hanyalah sekadar mengisi waktu saja. Seringkali orang itu tidak melakukan apapun yang membuat harinya lebih bermakna.

Bagi orang yang lama kehilangan semangat hidup dan membiarkan waktunya berlalu begitu saja bisa tiba-tiba begitu bergairah menghadapi hidup. Inilah yang dinamakan hidup kembali.

Sampai sini paham, kan? Jadi pengertian hidup kembali bukanlah menempati tubuh baru dengan nama baru tetapi lebih kepada pemahaman dan kesiapannya menghadapi kehidupannya setelah peristiwa besar yang membuatnya bagai mayat hidup.

Seperti yang kita ketahui hidup tak selamanya indah dan mudah, berjalan sesuai harapan dan mau kita. Hidup selalu memberikan kejutan di setiap harinya. Ada tawa dan air mata yang saling memilin kisah kita sebagai penghuni dunia yang fana. Kekuatan fisik, mental dan hati seringkali menjadi penentu apakah kita berhasil melalui semua kisah tersebut dengan baik. Tidak semua orang bisa melaluinya dengan lancar dan penuh kerelaan. Banyak yang menolak diam-diam dan kemudian terjebak di lingkaran nestapa. Itulah hidup. Hidup yang mau tak mau harus diterima dan dijalani sebisa kita.

Seperti aku yang juga sama denganmu. Berharap di semua waktu bisa menikmati gelak tawa tanpa adanya banjir air mata yang membuat jiwa merana. Namun siapa lah aku. Hanya seorang hamba yang nasibnya sudah ditetapkan jauh sebelum lahir.

Tak pernah diduga sebelumnya bila benjolan kecil sebesar bulir padi itu lambat laun membesar, bergerak, dan hidup di jaringan tubuh setelah bertahun-tahun lamanya. Aku yang dibesarkan secara sederhana di lingkungan keluarga yang takut dokter tak pernah menduga akan menghabiskan banyak masa muda, waktu, dan harta untuk bisa menghirup udara segar tanpa tekanan dan siksaan.

Ya, peristiwa menakutkan itu terjadi persis ketika aku baru saja melahirkan anak pertama. Perasaan lemas, lelah, letih, lesu, lunglai, letoy, dan loyo menderaku dengan hebatnya hingga aku tak mampu menggerakkan tubuhku sendiri. Setiap hari aku hanya mampu menghabiskan waktu 1 jam untuk bisa beraktivitas. Itu pun segera setelah bangun tidur. Setelah selesai mandi dan berjemur dengan orok aku sudah limbung.

Sepanjang hari aku hanya tidur-tiduran saja di samping orok yang belum bisa membuka matanya. Untuk bangun memperbaiki posisi tubuh pun rasanya susah. Apalagi bila harus ke toilet dan lainnya. Sudah pasti harus dipapah orang rumah.

Empat puluh hari kemudian aku ke RS PMI Bogor. Setelah pemeriksaan intensif dokter pun memutuskan untuk melakukan operasi pembedahan di bagian payudara kanan. Jantungku kaget bukan kepalang mendengarnya. Mataku melotot saking tak percaya. Lutut pun gemetar hebat. Tuhan, cobaan apa ini?

Kutatap bayi mungil dalam gendongan. Berbagai pikiran buruk menyerangku tiba-tiba. Dokter itu terus saja memberikan penjelasan secara ilmiah mengenai penyakit yang kuderita. Aku sudah tak konsentrasi dengan apa yang dibicarakannya. Aku membayangkan bagaimana si kecil menyusu nanti. Aku bingung, sedih, takut, juga malu.

Sebagai pasangan muda tentulah seks adalah aktivitas yang tak hanya melibatkan persatuan tubuh tetapi juga perasaan. Bagaimana bisa melakukan pelayanan prima bila aku sendiri merasa tak percaya diri dengan kondisi fisikku sendiri. Mungkin suami tak keberatan dengan hal itu. Tetapi aku? Tidak! Tak mungkin. Batinku menolak keras.

Dengan mata memelas kuminta jeda untuk berpikir. Dokter itu memandangku tanpa perasaan. Mungkin saking banyaknya pasien yang seperti diriku. Menolak operasi karena takut dan cemas. Ya, takut dan cemas akan sesuatu yang tak jelas.

“Terserah, Ibu. Saya hanya menyampaikan apa yang harus disampaikan sebagai dokter. Keputusan akhir tetap di tangan ibu dan keluarga. Namun demikian pikirkan baik-baik bila suatu hari payudara ibu seperti ini maka keadaan sudah memburuk dan sulit untuk diobati.” Katanya sambil menunjukkan gambar sebuah payudara yang sudah bernanah dan bolong. Aku makin ketakutan. Nyaliku hilang entah ke mana. Aku mencoba mencari kekuatan dengan mengeratkan pelukanku pada sang bayi. Nihil. Aku makin lemas.

Dengan sayu kutinggalkan dokter seorang diri. Di bawah lampu neon aku duduk dan berpikir keras. Aku tak mau mati. Aku juga tak mau dioperasi. Aku takut gagal. Bagaimana bila aku “lewat” di meja operasi? Bagaimana nasib Viviku yang baru 40 hari ini? Oh, Tuhan Yang Mahakuasa berikan pertolonganMu. Bisikku lirih penuh harapan.

Kupandangi lagi hasil rontgen, mamograf, dan sebundel dokumen kesehatan lainnya di samping kursi yang kududuki. Mataku basah lagi. Tiba-tiba sebuah usapan hangat menyentuh kepalaku. Sontak aku mendongak. Wajahnya teduh dengan senyum manis menyapaku. “Jangan takut. Kita akan berusaha yang terbaik. Dede pasti sembuh. Yuk, ke dalam lagi.” Bujuknya. Aku menggeleng kuat-kuat.

Hari itu sepulang dari rumah sakit aku mulai mencatat kronologis penyakit ini. Aku.mencoba mengingat-ingat kapan awal penyakit ini datang dan berkembang biak. Ternyata itu lama sekali kejadiannya. Ya, jauh sebelum aku menikah. Bahkan, jauh sebelum aku lulus kuliah.

Sore itu aku pulang sekolah seperti biasa dengan teman-teman. Sesampainya di rumah aku memburu ibuku yang sedang asyik menonton TV. “Ma, kalau ada benjolan itu normal ga, sih?” Tanyaku. “Eh, tanya apa? Ganti baju dulu sana. Mandi dulu. Bau.” Jawabnya. Aku menurut. Setelah mandi dan mengganti baju aku kembali menanyakan hal yang sama. Dan, ibuku menjawab tidak tahu. Itulah hari pertama aku menyadari ada yang berbeda dengan payudaraku yang baru tumbuh.

Hari-hari berikutnya kulalui dengan biasa. Artinya semua aktivitas normal dilakukan tanpa ada gangguan yang berarti. Demam sedikit ya wajarlah. Mungkin kecapaian karena sekolahnya siang hari dan baru sampai rumah jam lima sore. Aku tak pernah curiga tentang perkembangan benjolan itu yang sebenarnya mulai tumbuh subur di dada kanan.

 

(Bersambung)

(Gedung Tegar Beriman, 10 November 2021; sambil menunggu panggilan donor darah memperingati HUT PGRI ke 76, KORPRI ke 50, HGN 2021)