Catatan Seorang Penyintas Covid19

Oleh: Neneng Hendriyani

Senin, 12 Juli 2021 pukul 09 WIB aku dikejutkan oleh hasil Tes Swab Antigen putri pertamaku, Hapiah Wardah (15 tahun). Gadis manis berkulit hitam, berambut tebal yang tidak mengeluh apa pun itu ternyata positif. What?! Aku langsung meraba dahiku. Masih panas. Pun kedua telapak tanganku yang masih berasa basah dan dingin. Aku menatap wajah petugas di hadapanku. Nanar. “Tolong periksa saya juga”. Perintahku. Dia mengangguk lantas meminta kartu identitas penduduk dan memintaku duduk kembali.

Rasanya begitu lama sekali menunggu dokter di dalam ruangan bercat putih itu memanggil namaku. Aku masih sempat mengetik pesan singkat ke suami, adik, dan ibuku. Aku ingat suamiku sedang tidak enak badan dan memaksakan diri berangkat ke sekolah karena hari itu ada beberapa agenda rapat terbatas. Aku memintanya langsung datang ke lokasi di mana aku berada. Sementara adikku yang memang sangat dekat dengan putriku itu kaget. Meskipun posisinya masih WFO dia masih sempat memberikan beberapa nasihat yang intinya menenangkan diriku. Ibu yang tinggal beberapa bulan lagi pensiun pun sama. Mereka berdua tahu benar aku penderita asma sejak lahir. Bahkan seluruh anakku pun lahir di tengah serangan asma yang aku derita. Sejak bayi hingga usia lima tahun mereka semua langganan klinik lantaran asmanya kumat.

Saat namaku dipanggil aku bergegas masuk. Kupandangi sosok tinggi besar di depanku dengan seksama. Seorang dokter muda yang kutaksir baru berusia tiga puluh tahun itu menyapa ramah. Aku duduk dan memintanya membantuku. Aku tahu ini cuma basa basi. Namun bagiku ini sangat penting. Aku nyaman dengan sikapnya yang ramah. Itu sangat membantu ketenangan jiwaku. Sedapat mungkin aku berusaha tidak panik. Bila sampai panik maka asma pasti kumat. Itu bisa fatal.

Tak lama dengan wajah masih merah, sepasang mata yang sedikit berair itu sampai juga di lokasi tepat beberapa menit aku keluar ruangan dokter Fadel. Aku meminta kartu indentitas dan mendaftarkannya. Beruntung dia masih mendapatkan kesempatan. Beberapa orang laki-laki dewasa yang datang setengah berlari setelahnya ditolak petugas karena swab antigen kitnya habis. Waktu itu baru pukul sepuluh tiga puluh. Aku terhenyak. Astaga bagaimana ini. Aku mulai berpikir. Di rumah masih ada empat anak yang belum diperiksa dan aku mengkhawatirkan kondisi mereka.

Ketika petugas menunjukkan hasil swabku tadi aku hanya tersenyum. Aku sudah tahu jauh sebelum dokter muda itu memeriksaku. Aku tahu aku pasti positif setelah melihat hasil anakku. Aku hanya membutuhkan selembar surat keterangannya untuk keperluan dinas.

Otak bawah sadarku paham bila anak yang tanpa gejala itu saja bisa positif apalagi aku yang memang sedang melawan demam dan linu sejak empat hari sebelumnya. Kami tinggal serumah. Melakukan banyak aktivitas bersama-sama. Jadi tidak mungkin aku negatif sendirian, kan. Pun ketika hasil swab suami positif aku masih bisa tersenyum. Meskipun kebingungan karena yang lain belum diperiksa aku masih bisa berpikir panjang. Mungkin itu naluri seorang ibu.

Suami dan putriku pulang bersama-sama naik mobil yang dikendarai suami saat ke kantor tadi pagi. Sementara aku yang memang memilih membawa Vario hitam melaju di belakangnya perlahan.

Aku berhenti di kios kelapa. Tanpa pikir panjang kuborong semua stok kelapa hijau yang ada. Kubilang untuk obat dan meminta penjualnya untuk agak menjauh dariku karena aku positif. Dia mengangguk dan membantuku menaruh semua kelapa itu di motor. Setelah membayar harga yang sempat didiskon aku langsung mencari ATM terdekat. Dalam pikiranku aku harus bersiap melaksanakan ISOMAN sekeluarga. Itu berarti aku tidak bisa keluar rumah lagi untuk belanja kebutuhan makan sehari-hari. Maka aku harus menitipkan sejumlah uang untuk memenuhi semua kebutuhan selama ISOMAN berlangsung.

Sepanjang jalan pulang dilalah ATM kosong. Kuberanikan diri menuju ALFAMART terakhir di sepanjang jalur pulang. Beruntung di sana ATM masih bisa berfungsi normal. Setelah tiga kali gagal transaksi akhirnya aku bisa bernapas lega. Adikku siap membantu dengan bekal lima juta rupiah yang kutransfer ke rekeningnya. Segera dia memesan semua obat herbal yang dibutuhkan oleh kami sekeluarga; Madu Qusthul Hindi, Oximeter, Serbuk dan kapsul Qusth, Imboost, Obat demam, Vermint, berbagai varian rasa Nutrijel, bahan-bahan kue, buah-buahan, dan lainnya. Ini mungkin berlebihan. Namun aku yang memintanya mengirimkan semua itu dengan Gojek. Aku berharap anak-anak tetap bisa ceria meskipun harus dikurung di rumah selama dua minggu karena penyakit tak diundang ini. Dengan semua perbekalan yang dikirim tersebut mereka masih bisa beraktivitas normal di dapur berkreasi macam-macam kesukaan yang biasa mereka nikmati.

Aku pun masih sempat pulang membawa stok diaper, susu pelancar ASI, roti dan cemilan kecil sebelum akhirnya dihubungi pengurus lingkungan.

Sesampainya di rumah barulah drama ISOMAN dimulai secara resmi. Dengan bantuan pengurus RT aku berhasil memeriksakan kondisi keempat anak. Tentu saja semua biaya dibebankan kepadaku. Aku tidak mengeluh. Sudah beruntung masih ada tenaga kesehatan yang mau melayani datang ke rumah yang sudah jelas penghuninya menderita Covid19. Aku sangat berterima kasih meskipun harus membayar lebih mahal daripada tarif resmi dan tanpa mendapatkan surat keterangan.

Hasil pemeriksaan keempat anak tersebut benar-benar sesuai dugaanku. Anak laki-laki pertamaku selamat. Abang (12 tahun) yang memang hobi makan dan main itu negatif. Selama tiga hari berturut-turut padahal dia mengalami diare. Luar biasa. Sementara adiknya yang baru naik kelas empat itu positif. Tidak aneh. Saat aku mengalami demam tinggi dia pun demam dan mimisan. Kondisi fisiknya memang lebih lemah dari abangnya. Anak pengais bungsu ( usia 5 tahun) pun dinyatakan negatif. Aku bersyukur sekali. Alhamdulillah. Panji yang baru direncanakan daftar TK tahun ini benar-benar negatif. Bahkan saturasinya pun paling bagus, 115. Sayang, keberuntungan ini tidak dimiliki si kecil, Lily. Bayiku yang belum genap dua tahun itu terpaksa dites dua kali karena petugas ragu. Hasilnya positif. Aku lemas. Napasku sesak. Masih sempat kuberdoa dalam hati, Tuhan, selamatkan kami.

Tepat pukul 13.00 WIB kami resmi memulai ISOMAN hari pertama dengan kondisi dan keluhan berbeda-beda dari seisi rumah. Lima orang yang dinyatakan positif semua kukumpulkan di tengah rumah. Aku bilang bahwa ini bukan akhir dari hidup. Di luar sana banyak penyintas yang berhasil keluar dari masalah ini dan kembali sehat. Mereka menatapku. Ada rasa takut, cemas, dan lain-lain yang kutangkap dari mata anak-anak yang belum paham apa-apa itu. Aku menghela napas. Aku menolak mengungsikan kedua anak yang negatif ke rumah kerabat. Bukan apa-apa. Kedua orangtuaku sendiri kormobid. Ayahku penderita jantung. Ibuku asma. Adikku pun penderita kista dan miom. Hanya adik laki-lakiku yang sehat wal afiat. Keluarga mertuaku pun tidak mungkin menerimanya. Mereka sendiri sedang sibuk mengurus keponakan suami yang belum sembuh dari sakitnya. Ditambah lagi mereka harus menyiapkan acara pernikahannya yang tinggal menunggu hari. Beruntung pengurus RT mendukung keputusanku. Ini pun dilatarbelakangi oleh kejadian yang menimpa tetanggaku. Dari tujuh anggota keluarga ada dua juga yang negatif dan mereka dikirim ke rumah nenek kakeknya di Depok. Dua hari setelah berada di sana salah satu dinyatakan positif dan kakek nenek pun ikut positif.

Setelah didampingi dokter yang ditunjuk oleh tim Satgas setempat aku membuat laporan melalui pesan singkat ke kantor. Sebuah pertanyaan yang diajukan atasanku membuatku kaget. “Bukankah ibu sedang WFH, di rumah, kok bisa kena ya?”

Aku diam. Tak bisa menjawab secara pasti. Bagaimana mungkin aku yang sudah divaksin dua kali ini bisa terpapar virus jahat tersebut. Dengan bantuan adikku aku mencoba mengingat kembali perjalanan beberapa hari ke belakang. Terakhir aku aktif ke sekolah  adalah dua hari sebelum pembagian rapot kenaikan kelas. Saat itu kondisi tubuh fit. Aku pulang pukul lima sore dari sekolah. Selama di rumah aku hanya pergi ke warung sayur mayur yang berlokasi di kompleks perumahan di mana aku tinggal. Itu pun hanya dua hari sekali. Seminggu sekali aku pergi ke Indomaret untuk membeli kebutuhan susu dan menarik uang tunai. Dua minggu sekali aku mengirim paket ke JNE yang berada di sebelah Indomaret. Begitu aktivitas rutin yang kujalani selama WFH dan menjelang PPKM.

Satu-satunya kejadian di mana aku bertemu orang dalam jumlah banyak lebih dari biasanya hanyalah saat aku melayat rekan kerjaku yang meninggal karena serangan jantung. Rumah kami masih satu kompleks. Aku sempat bersalaman dengan sang istri. Setelah itu berjabat tangan dengan mantan atasanku yang kebetulan hadir di masjid kompleks. Aku tidak ikut ke pemakaman dan memilih mengobrol sebentar dengan salah satu alumni terbaik yang kuajar dan kudampingi penuh selama dua tahun sebagai wali kelasnya. Kami berdiri dengan jarak 1,5 meter dan masing-masing tetap menggunakan masker.

Suamiku memang ikut mengantarkan ke pemakaman sore itu. Dibonceng salah satu siswanya dia ikut ke Sindang Barang, Bogor. Pulang seperti biasa langsung membersihkan tubuh dan semua baik-baik saja. Selama seminggu kemudian dia tetap beraktivitas seperti biasa tanpa keluhan apa pun. Begitu pula anggota keluarga lainnya.

Hari Kamis, 8 Juli 2021 aku mulai bersin-bersin. Anak-anak bermain hujan-hujanan di lantai atas. Sudah dua minggu anak-anak memang dilarang keluar rumah karena di lingkungan kompleks sudah banyak yang positif. Jadi mereka bermain di dalam rumah saja. Kebetulan di lantai atas masih ada ruang yang tidak tertutup, yaitu balkon. Di sanalah kakak beradik itu bermain hujan-hujanan. Aku memang alergi dingin akibat hujan.  Setelah memandikan Lily dan memberikannya baju hangat, hidungku mulai bereaksi. Ada tumpukan ingus yang sulit dikeluarkan kurasa di pangkal hidungku sejak sore itu. Polipku kumat. Malam Jumat itu aku tak bisa tidur. Telinga berdengung, dahi dan leher panas, hidung tersumbat luar biasa. Sementara semua otot lemas dan linu. Aku tak curiga apa pun. Masih tetap mengetik dan bercanda dengan beberapa penulis melalui WhatsApp.

Jumat hingga Minggu kondisiku masih sama. Rasa panas dan dingin datang silih berganti beberapa jam. Aku masih bisa beribadah seperti biasa dan melakukan aktivitas rutin tanpa hambatan meskipun telinga kanan mulai berair saking panasnya suhu tubuh. Bahkan ketika aku tak bisa mencium bau masakan dan pup Lily pun aku masih biasa saja. Aku sering begini setiap kali kena hujan. Jadi tak ada yang aneh, kupikir. Ketika aku mulai tidak bisa merasakan lezatnya masakan pun aku cuek. Aku memang bukan penyuka makan. Makan bagiku hanya sekedar memenuhi kebutuhan perut dan hidup. Bukan masalah ketika aku tak bisa menikmati rasanya. Aku santai.

Sungguh ternyata tubuh sebenarnya sudah memberikan warning sebelum vonis tiba. Nahas aku cuek. Ini kesalahan fatal. Andai aku lebih wawas diri ketika badan mulai tidak enak dan langsung mengonsumsi vitamin dan menjaga imun semua drama selama 16 hari itu tidak akan terjadi.

Namun demikian, aku bersyukur. Saat jatuh dan tertimpa tangga ini aku jadi tahu banyak hal. Selain ilmu kesehatan yang lumayan meningkat lantaran harus cek up kondisi anggota keluarga tiap hari, hubungan keluarga kami pun semakin erat dan hangat.

Dari sekian banyak rekan kerja dan tetangga yang kukenal pun dapat kunilai. Ada yang langsung menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Yang biasa duduk santai di depan rumah setiap pagi dan petang langsung bersembunyi di balik pagar. Bahkan tidak sedikit yang mempercepat langkah kakinya ketika terpaksa melewati rumah. Dari dalam, aku  cuma tersenyum kecut. Benar-benar menyedihkan. Saking takutnya setiap kali pengantar paket datang, mereka melongokkan kepalanya menatap dengan curiga ke arahku. Penasaran mungkin paket apa yang diantarkan. Ini sempat membuatku down. Dengan kondisi yang luar biasa tidak nyamannya untuk memasak, aku terpaksa memesan makanan online. Tanpa ditatap sedingin itu aku pun sadar bahwa ini sangat beresiko. Namun aku tahu apa yang kulakukan. Aku selalu berupaya memberitahukan ke bagian pengantar paketnya bahwa aku sedang isoman. Bila mereka keberatan maka mereka bisa membatalkannya. Bila mereka siap menerima order maka mereka siap pula menggantungkan paketnya di pagar rumah. Simple.

Sebagai pekerja aku jelas tidak bisa bebas dari tuntutan pekerjaan sekalipun sedang sakit. Meskipun sedikit kecewa karena merasa tidak ada empati dan simpati aku sadar ini bagian dari tanggung jawab pekerjaan. Sebisa mungkin semua tugas yang berkaitan dengan anak didik selalu kulaksanakan. Namun yang tidak begitu berkaitan kutinggalkan. Aku sadar betul bila memaksakan diri maka sama artinya memperberat kondisi kesehatanku. Bila aku sampai off alias end, paling hanya ucapan belasungkawa yang diterima, kan? Maka itulah menjaga dan waspada jauh lebih baik di saat seperti itu.

Dari sekian banyak simpati dan empati yang kuterima dari teman-teman mayaku di facebook dan whatsapp aku merasa sangat beruntung. Tahu mengapa? Hampir 80% semangat dan doa yang mengalir di beranda and kolom komentarku berasal dari semua kawan lama yang kukenal baik. Allah sayang sekali padaku. Ia kirimkan semua sahabatku di saat genting seperti itu. Simpati mengalir tak berbatas pulau dan negara. Alhamdulillah.

Dari semua bantuan langsung yang kuterima ku sangat bersyukur sekali telah merasakan bantuan yang paling berharga dari dokter yang tidak pernah kujumpai sebelumnya. Petugas Satgas RW memberikan nomornya dan aku menghubunginya dua jam setelah semua keluarga resmi menyandang status baru, pasien covid. Kesabarannya membaca, merespon, mengantarkan paket obat untuk kami selama isoman adalah bukti nyata betapa dia begitu peduli dan sayang kepada kami. Semoga Allah merahmatinya.

Selama isoman itu aku pun merasakan kiriman makan siang satu kali yang dikirimkan oleh Pak RT yang konon kabarnya dari Pak Lurah. Jangan tanya isi menunya, ya. Yang pasti lebih enak buatan sendiri lah. Harganya? Hm, ga jauh dari warteg. Namun, aku menghargainya karena ini menunjukkan kepeduliannya kepada warga. Sisa bantuan berikutnya dari kelurahan aku tidak tahu. Aku hanya menerima bantuan langsung sebanyak 4 kotak makan siang saja pada satu hari itu.

Ketika seorang rekan kerja mengirimkan nomor tim peduli covid 19 kabupaten iseng kukonfirmasi ke adikku. Dia yang lebih luas jaringan pertemanannya membantuku mengisi semua data yang dibutuhkan. Beruntung aku punya tiga surat keterangan hasil swab. Berbekal surat tersebut ditambah KTP seminggu berikutnya aku menerima paket yang katanya “sembako” namun isinya tidak lebih dari 2 kantong beras, 4 bungkus mie, 1 sarden. Katanya sih program Bupati. Alhamdulillah. Cukup membantu.

Air mata mengalir deras justru ketika seorang rekan kerja yang memiliki tiga anak yatim menelepon dan meminta alamat rumah untuk mengirimkan paket cepat saji. Dia berkilah anak-anak pasti sangat menyukai dan membutuhkannya saat aku menolaknya. Jujur, menerima bantuan itu tidak enak, saudara-saudara. Rasanya ngenes. Lebih enak tangan di atas daripada tangan di bawah.

Begitupun ketika seorang rekan yang hingga kini belum dikaruniai anak meneleponku menanyakan si kecil Lily. Dia trenyuh dan mengirimkan paket makanan ringan, susu, energen, gula, dan lainnya untuk anak-anak. Ya Allah, aku benar-benar mbrebes mili.

Tetangga sebelah kanan rumah yang juga punya anak yatim pun berbuat sama. Suatu hari dia mengetuk pagar dan menaruh seplastik jeruk buat anak-anak.

Coba lihat. Mereka yang membantuku dengan begitu tulusnya justru bukan orang-orang yang pernah kuduga sebelumnya. Allah mengirimkan tangan-tanganNya melalui mereka.

Aku bersyukur sekali setelah melewati sepuluh hari terberat itu Allah lagi-lagi mengetuk hati hambaNya untuk datang menolongku setelah hujan. Benar-benar hujan. Iseng dia membuka status WhatsAppku dan kaget melihat postingan kondisiku yang up down. Dia langsung menelepon dan meminta alamat. Di tengah hujan dia berusa mencari apa yang kubutuhkan. Setelah reda baru dia antarkan. Alhamdulillah dengan jalan perantara obat yang diberikannya, aku bisa mengeluarkan semua lendir yang rasanya innalillahi lengket sekali selama dua jam. Meskipun sesudah meminumnya aku langsung tepar alias drop lantaran semua isi perut dikuras habis-habisan atas bawah aku bisa bernapas lega. Bau obat, dapur, dan sebagainya mulai tercium lagi. rasa pahit setelah muntah pun mulai terasa lagi. Aku meloncat kegirangan. Syukur Alhamdulillah. Dua hari berikutnya demam itu mulai hilang. Tinggal lemesnya kurasa hingga hari ke-16. Selebihnya semua kembali normal.

Dengan semua rangkaian kejadian ini seorang seniorku menambahkan gelar baru di belakang namaku saat ia menelponku seminggu setelah aku sembuh, LC. Lulus Covid.

(Kota Hujan, 04 Agustus 2021)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *